Allah

Senin, 28 Februari 2011

Biografi / Manaqib Habib Hasan bin Ja’far Assegaf - Pimpinan Nurul Mustafa - Pemimpin 50.000 Jamaah Muda Mudi Jakarta




Al-Habib Hasan Bin Ja`far Bin Umar Bin Ja`far Bin Syeckh Bin Segaf Bin Ahmad Bin Abdullah Bin Alwi Bin Abdullah Bin Ahmad Bin Abdurrahman Bin Ahmad Bin Abdurahman Bin Alwi Bin Ahmad Bin Alwi Bin Syeckh Abdurrahman Segaf Bin Muhammad Maula Dawilaih Bin Ali Bin Alwi Guyur Bin (Al-Faqihil Muqaddam) Muhamad Bin Ali Bin Muhammad Shohibul Marboth Bin Ali Gholi Ghosam Bin Alwi Bin Muhammad Bin Alwi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Al-Muhajir Bin Isa Bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Sodiq Bin Muhammad Al-Baqir Bin Ali Zaenal Abidin Bin Al-Imam Husein Assibit Bin Imam Ali KWH Bin Fatimah Al-Batul Binti Nabi Muhammad SAW.
Beliau lahir pada tahun 1977 di Kramat Empang Bogor, guru mengaji beliau di waktu kecil untuk mengenal huruf adalah Syaikh Usman Baraja dan di dalam bahasa Arab oleh Syaikh Abdul Qodir Ba’salamah, dalam ilmu Nahwu dah Shorof oleh Syaikh Ahmad Bafadhol.
Seperti biasanya di siang hari aktifitas beliau seperti aktifitas anak-anak pada umumnya yaitu belajar di SD, SMP, SMA dan di lanjutkan di IAIN Sunan Ampel Malang.
Beranjak dewasa beliau bersama kakeknya Al Habib Husein bin Abdulloh bin Mukhsin Al Attas di rumah Habib Keramat Empang Bogor sering menyambut tamu-tamu yang mulia dan mendapatkan do’a-do’a dari mereka, di antara tamu tersebut adalah :
 - Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf (Jeddah)
- Al Habib Muhammad bin Alwi Al Maliki (Mekkah)
- Al Habib Hasan bin Abdulloh As-Syathiri (Tarim)
- Al Habib Umar bin Hud Al Attas (Cipayung, Bogor)
- Al Habib Ahmad bin Muhammad Al Haddad (Condet, Jakarta)
- Al Habib Muhammad bin Ali Habsyi (Kwitang, Jakarta)
- Al Habib Abdulloh bin Husein Syami Al Attas (Jakarta)
- Al Habib Muhammad bin Abdulloh Al Habsyi (Banyuwangi)
- Al Habib Idrus Al Habsyi (Surabaya)
- Al Habib Muhammad Anis bin Alwi AL Habsyi (Solo)
dan masih banyak lagi para alim ulama yang beliau temui di kala mereka ingin berziarah ke Maqam kakek beliau Al Habib Abdulloh bin Mukhsin Al Attas, di karenakan do’a-do’a dari para alim ulama tersebut akhirnya beliau dapat meneruskan belajar ke pesantren Darul Hadist Al Faqihiyah, Malang, Sebagai pengasuh dan pendiri yang mulia yaitu Al Imam Al Qutub Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bil Faqih dan Al Imam AL Qutub Al Habib Abdulloh bin Abdul Qadir Bil Faqih berserta putra-putranya selama beberapa tahun, dan meneruskan kepada beberapa guru yang di temuinya salah satunya adalah :
- Syaikh Abdulloh Abdun
- Al Habib Hasan bin Ahmad Baharun
- Al Habib Al Alamah Al Barokah Abdurrahman bin Ahmad Assegaf
Ilmu dan pengalaman yang di carinya selama beberapa tahun menjadikan pengenalan yang lebih terhadap diri dan jati dirinya, di karenakan keberkahan sang guru dan alim ulama.
Selepas menuntut ilmu yang beliau cari dari kota Malang dan lain-lainnya beliau memutuskan untuk belajar bersama alim ulama yang berada di Jakarta dengan para Kiyai-Kiyai dan para Habaib.
Selama 1 tahun beliau tidak keluar rumah kecuali untuk berziarah ke Maqom kakeknya Al Habib Abdulloh bin Mukhsin AL Attas dan menghabiskan waktunya di kamar untuk bersyukur dan bertafakur kepada Allah SWT guna mengamalkan ilmu yang telah di ajarkan oleh guru-guru beliau yang pada akhirnya beliau mendapatkan Bisyaroh (Petunjuk) untuk mengajarkan ilmu Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Fitnah, cacian, makian serta hasut selalu menjadi kawan beliau dari ancaman dari orang-orang yang belum mendapat petunjuk Allah SWT, dengan hati yang teguh prinsip dan yakin akan kebesaran Allah SWT dan Rasul-Nya tidak membuat gentar perjuangan beliau untuk berdakwah, sehingga Allah menghendaki beberapa murid yang mengikuti beliau untuk menggali ilmu kepadanya, dan Allah pun tidak mendiamkan hamba-hambanya yang berdekatan dengan beliau tanpa ujian.
Cobaan terus berlanjut sampai akhirnya beliau di tinggal oleh Ayahandanya yaitu Al Habib Ja’far bin Umar Assegaf, kesabaran itulah jawabannya yang akhirnya Allah SWT mengizinkan dari hamba-hambanya yang hanya beberapa orang bertambah menjadi ratusan orang yang belajar menuntut ilmu kepadanya.
Tahun demi tahun berlalu ujianpun bertambah tetapi karunai Allah SWT selalu di atas kepalanya yang kepada akhirnya Allah SWT menghibur dengan memperbanyak para hamba-hambanya untuk mengikutinya dan di namai perkumpulannya dengan nama “Majlis Nurul Musthofa”.
Beliau menikahi salah satu cucu putri keturunan Rasululloh SAW yaitu Syarifah Muznah binti Ahmad Al Haddad (Al Hawi) dan mempunyai satu orang putri dan 2 orang putra kemudian Allah SWT menghibur beliau dengan mengaruniai satu bidang tanah yang untuk di tinggali oleh beliau dan keluarganya serta murid-muridnya sehingga Allah SWT mengizinkan pula kepada beliau untuk berziarah ke luar negri seperti Yaman, Abu Dabi, Arab Saudi, dll.
 Dengan karunia Allah SWT inilah Majlis Nurul Musthofa yang beliau bina dengan cara mensyiarkan Sholawat dan Salam kepada Nabi Muhammad SAW serta mengenalkan pribadi Rasululloh SAW sebagai suri tauladan manusia sehingga dapat merebut hati manusia sebanyak 50.000 orang untuk bersholawat kepada Rasululloh SAW setiap minggunya.
Majlis yang beliau bina turut pula di do’akan oleh para alim ulama terkemuka pada zaman sekarang ini dan sempat duduk di Majlisnya di antaranya adalah :
- AL Habib Muhammad Anis bin Alwi Al Habsyi
- Al Habib Abdurrahman bin Alwi Assegaf
- Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Habsyi
- Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Bil Faqih
- Al Habib Salim bin Abdulloh As-Syathiri
Serta masih banyak lagi yang lainnya yang tersimpan kedatangan beliau di file Majlis Nurul Musthofa.
Di dalam Majlis pun di bacakan Kitab Annashohidiniyyah karangan Al Habib Abdulloh bin Alwi Al Haddad dan berbagai kitab lainnya yang di karang oleh para Salaffuna Sholihin.
Semoga dengan sedikit biografi yang ringkas ini Allah selalu menjaga, melindungi syiar Islam di seluruh dunia dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba Allah yang tidak putus dengan Rahmat-Nya.
Terima kasih kami kepada umat Islam yang telah membantu Majlis Nurul Musthofa
 
Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”.
Habib Hasan adalah anak sulung Habib Ja’far Assegaf yang lahir di Bogor pada 26 Februari 1977. Ia mendapat pendidikan awal dari ayahnya, kemudian meneruskan ke Pesantren Darul Hadits dan Darut Tauhid di Malang selama tiga tahun. Setelah itu ia juga sempat mengambil kuliah di IAIN Sunan Ampel, Malang.
Tahun 1998, Habib Hasan membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan. Pengajian digelar di kediamannya, di Bogor, tepat di belakang rumah Habib Kramat Empang, Bogor.
Pada suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.
Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.

Cahaya Manusia Pilihan
Awalnya dia berkeliling dari rumah ke rumah murid-muridnya.
Enam bulan kemudian, seorang jama’ah datang kepadanya dengan membawa seorang pria berumur separuh baya. Pria itu minta agar Habib Hasan bersedia mengobati kakinya.
“Ketika itu ana bingung, karena ana belum pernah menangani hal demikian,” kenangnya. Namun, karena tidak ingin mengecewakan tamunya, Habib Hasan kemudian mengambil sebotol air putih dan membacakan Ratib Alattas. Botol itu kemudian diserahkan kepada si sakit dengan pesan agar diminum setibanya di rumah.
“Dua hari kemudian orang itu kembali kemari dalam keadaan sembuh,” ujar Habib Hasan.
Entah bagaimana, rupanya peristiwa itu menyebar sehingga nama Habib Hasan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Namun yang jelas, sejak itu, jama’ahnya pun bertambah secara signifikan, menjadi seratus orang.
Awal 1999, Habib Umar bin Hud Cipayung wafat. Habib Umar adalah teman kakek Habib Hasan. Untuk menghormati teman kakeknya itu, Habib Hasan mencium kening almarhum dan berdoa, “Ya Allah, jadikan aku seperti almarhum dalam hal ilmu dan amal.”
Satu bulan kemudian, jama’ah bertambah lagi, menjadi empat ratus orang.
Karena pertambahan jama’ah yang cukup besar itu, pada akhir tahun 1999, atas saran H. Jamalih bin H. Piun, sesepuh setempat, ia memindahkan tempat ta’lim ke Masjid Al-Ahyar di Kampung Kandang.
Ketika saran itu dilaksanakan, yang hadir ada sekitar lima ratus orang.
Selanjutnya, jalan lebar seperti terbuka dengan sendirinya. Masjid-masjid sekitar Cilandak membuka pintunya lebar-lebar untuk menampung acara majelis ta’lim Al-Irfan.
Tahun 2000, jama’ahnya bertambah lagi menjadi sekitar delapan ratus orang, yang berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta.
Melihat hal itu, Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”, yang maknanya “Cahaya Manusia Pilihan”.
Dua tahun kemudian, 2002, syiar majelis ta’lim Nurul Musthofa kian meluas. Mulai dari Warung Buncit, Mampang Prapatan, Kuningan, Kalibata, hingga Kreo. Jumlah jama’ahnya pun bertambah, menjadi sekitar dua ribu orang.
Tahun 2003, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikunjungi ulama-ulama besar, seperti Habib Abdul Qadir Al-Masyhur dari Makkah, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dan putranya, Habib Muhammad, dari Madinah, juga Habib Salim Asy-Syatiri dari Tarim, Hadhramaut.
Fitnah Berdatangan
Tahun 2003 adalah tahun ujian bagi Habib Hasan. Selain ayahnya, Habib Ja’far, wafat pada bulan haji, fitnah pun berdatangan kepadanya. Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikatakan sebagai majelis bid’ah, majelis syirik. Malah suatu hari, ketika ia bangun tidur, ranjangnya penuh dengan kalajengking.
Maka Habib Hasan pun segera bangkit dari tidur dan berdoa.
Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua.
Pada kali yang lain ia menemukan seekor ular di kamarnya.
Bahkan pernah selama satu bulan kakinya tidak bisa digerakkan. Selama itu kegiatan ta’lim diserahkan kepada adiknya, Habib Abdullah.
Kakinya sembuh berkat bacaan rutin Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘adhim, Astaghfirullah.
Sempat terlintas dalam benaknya akan meninggalkan kegiatan majelis ta’limnya itu. Tapi dibatalkan, karena tidak disetujui Al-Alamah Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri.
Setelah mendapat dukungan Habib Abdurrahman, hatinya semakin mantap. Dan untuk menghadapi fitnah-fitnah itu, Habib Hasan melakukan ziarah ke makam para shalihin di berbagai tempat, seperti di Luar Batang, Kwitang, Bogor, Tegal, Pekalongan, Solo, Gresik, Surabaya, Bangil, Malang, dan lain-lain.
Keinginan Ibu
 Suatu hari, Habib Hasan mengemukakan kepada ibunya bahwa ia ingin menikah.
Sang ibu merasa sangat bersyukur. Maklum, Habib Hasan adalah anak sulung. Lantas ibunya menyodorkan 40 foto syarifah.
Habib Hasan kemudian mengambil satu dan menyimpan di kantung bajunya tanpa melihat wajah di gambar itu.
Esok harinya ia pergi ke Tegal, dan memakai baju yang sama. Jadi ia yakin bahwa foto syarifah pemberian ibunya itu masih ada di kantung baju.
Namun, ketika sampai di Tegal, foto itu raib.
Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Solo.
Ketika sampai di rumah Al-‘Alamah Habib Anis Al-Habsyi di Solo, di kantungnya terasa ada sesuatu yang mengganjal. Setelah diraba, ternyata ganjalan itu adalah sebuah foto, yaitu foto syarifah pemberian ibunya.
Saat bertemu Habib Anis, Habib Hasan minta pendapatnya tentang calon istrinya yang wajahnya ada di dalam foto itu. Padahal sampai detik itu ia belum melihat wajah di foto itu.
Dan ternyata Habib Anis menyatakan persetujuannya terhadap calon tersebut.
Sekembalinya ke Bogor, kepada ibunya Habib Hasan menceritakan pertemuannya dengan Habib Anis.
Maka keluarganya pun segera mempersiapkan acara untuk melamar gadis itu. Pada saat itulah Habib Hasan baru berani melihat wajah di foto yang telah dibawanya ke mana-mana itu, yang ternyata adalah Syarifah Muznah binti Ahmad Al-Haddad, keponakan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Haddad, Condet.
Lamaran tidak bertepuk sebelah tangan.
Sebulan kemudian, pernikahan dua sejoli itu dilangsungkan di rumah mempelai perempuan.
Kini pasangan itu telah dikaruniai tiga orang anak: Rogayah, 8 tahun, Attos Abdullah, 7 tahun, dan Ali, 6 tahun.
Setelah Habib Hasan berkeluarga, semuanya jadi tambah lancar. Jama’ahnya bertambah hingga enam ribu orang, tersebar di Jakarta Selatan dan Timur. Bahkan tahun 2005 jumlah jama’ah mencapai 15 ribu orang.
Tahun berikutnya, Habib Hasan pindah ke Kampung Manggis di depan kantor Darul Aitam di Jalan Kahfi I, Jakarta Selatan. Di situ dia membangun rumah dan mushalla di atas tanah hibah dari H. Abdul Gofar, Hj. Nur Utami, dan H. Masturoh.
Pada tahun itu juga Habib Hasan mengukuhkan Yayasan Nurul Musthofa, yang diketuai oleh adiknya, Habib Abdullah bin Ja’far Assegaf, dan dia sendiri, dengan izin resmi dari Departemen Agama.
Tahun 2006, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berkembang semakin pesat.
Pada tahun ini pula, Habib Hasan mulai mendiami rumahnya sendiri yang juga menjadi kantor sekretariat Yayasan Nurul Musthofa.
Ulam Tiba
Pada tahun 2007, Yayasan Nurul Musthofa mulai mendirikan gedung khusus untuk kegiatan ta’lim di atas tanah hibah, yang terletak persis di belakang kediaman Habib Hasan. Padahal saat itu kontur tanah tersebut miring sehingga sulit untuk segera bisa merealisasikan pembangunan tersebut.
Tanah itu perlu diurug. Namun untuk mengurug dibutuhkan tanah yang tidak sedikit. Apalagi kiri-kanan lahan tanah tersebut telah dibatasi tembok-tembok tetangga.
Ketika menyadari hal itu, Rahman, tangan kanan Habib Hasan, menyatakan pesimistis.
Namun Habib Hasan dengan tenang menjawab, “Sabar saja, nanti juga akan ada tanah untuk mengurug.”
Benar juga, beberapa hari kemudian, Rahman menerima kedatangan tetangga sebelah yang merencanakan ingin membuat kolam renang, sehingga akan membuang tanah yang cukup banyak.
“Pucuk dicita, ulam tiba,” kata Rahman.
Maka, tanpa kesulitan, tanah dari tetangga sebelah dipindahkan ke rumah Habib Hasan.
Agenda Dakwah
Kegiatan Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berjalan sejak Senin sampai Sabtu, ba’da maghrib, yang dihadiri sekitar 300 sampai 400 jama’ah.
Malam Senin, pembacaan kitab Syarah Ainiyah, karya Habib Ahmad bin Hasan Alattas. Malam Selasa, pembacaan Safinatun Najah, diikuti dengan ziarah ke Makam Habib Kuncung di Kalibata. Malam Rabu, pembacaan shalawat dan kitab Riyadhus Shalihin. Malam Kamis pembacaan nama-nama Nabi SAW dengan qashidahan. Malam Jum’at, pembacaan Dalailul Khairat dan kitab Arbain Imam Nawawi, diteruskan ziarah ke makam Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Dan malam Sabtu, pembacaan kitab Aqidatul Awam.
Pada malam Ahad, Habib Hasan mengerahkan jama’ahanya untuk mengikuti majelis ta’lim yang berpindah-pindah sesuai undangan.
Para jama’ah itu dikoordinir di suatu tempat yang strategis dan kemudian membentuk konvoi menuju ke tempat acara bersama dia dan krunya dalam iring-iringan kendaraan roda empat dan roda dua. Di sepanjang jalan mereka mengumandangkan kalimah-kalimah tauhid dan sejenisnya.
Ketika sampai di tujuan, di sana ribuan jama’ah yang lain telah menanti. Dan angkasa pun dimeriahkan dengan dentuman dan kilatan kembang api.
Setelah itu, acara ta’lim dimulai dan berlangsung sekitar dua sampai tiga jam.
Sekitar jam 00.00 acara usai dan para jama’ah membubarkan diri dengan tertib.
Di rumahnya, Habib Hasan masih menggelar pengajian hingga subuh tiba….


Kamis, 24 Februari 2011

Manaqib Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assaqof

Manaqib Al Qutub Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman Assaqof

Nasab beliau yang mulia
Beliau adalah Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad dan terus bersambung nasabnya hingga sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Beliu dilahirkan di kota Sewun, Hadramaut, pada bulan Jumadil Akhir Tahun 1331 H. Beliau dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang sholeh sehingga sejak kecil beliau telah dihiasi dengan hidayah dan ketakwaan.
Ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf, adalah seorang imam yang dihiasi dengan keindahan budi pekerti yang luhur ilmu yang luas dan amal yang soleh. Al-Habib Ali bin Muhammad Al habsyi pernah berkata bahwa Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman adalah Imam Wadil Ahqof (Hadramaut).
Ibu beliau adalah As-Syarifah Alawiyah binti Al-Habib Ahmad bin Muhammad Aljufri. Beliau adalah seorang wanita yang sholihah dan suka pada kebajikan. Ketika ibu beliau sedang mengandung dan melahirkan bayi laki-laki, bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir atas isyarat dari Al-Habib Ali bin Muhammad Al habsyi, tetapi tidak lama kemudian bayi tersebut meninggal dunia. Ketika As-Syarifah Alawiyah melahirkan bayi laki-laki untuk yang kedua kalinya, Al-Habib Ali juga mengisyaratkan agar bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir. Al-Habib Ali mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang yang mulia yang mengabdikan hidupnya untuk taat kepada Allah dan menjadi seorang yang dihiasi dengan ilmu, amal dan ihsan.
As-Syarifah Alawiyah meninggal dunia pada tanggal 29 Rajab 1378 H bersamaan dengan hari wafatnya Al-Habib Salim bin Hafidh Bin Syekh Abubakar bin Salim (kakek dari Al-Habib Umar Bin Hafidh). Sedangkan Al-Habib Ahmad (ayah dari Al-Habib Abdul Qodir) meninggal dunia pada sore hari, Sabtu, tanggal 4 Muharram 1357 H, setelah menunaikan shalat ashar pada usia 79 tahun, sedangkan Al-Habib Abdul Qodir saat itu baru berusia 25 tahun.
Masa kecil beliau
Sejak kecil beliau tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu pengetahuan, ibadah dan akhlak yang tinggi yang ditanamkan dan sekaligus dicontohkan oleh ayah beliau yang sholeh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaqof. Dan memang demikianlah keadaan kebanyakan keluarga-keluarga Alawiyin di Hadramaut pada masa itu. Keadaan ini sangat mendukung para orangtua untuk mencetak kader-kader ulama dan shulaha’ (orang-orang baik) karena anak-anak disana pada masa itu selain dididik oleh orang tua, lingkungan juga ikut membentuk mereka. Keikhlasan dan kebersihan hati menjadi hiasan penduduk disana kala itu. Mereka tidak terkontaminasi dengan budaya dan berbagai macam paham dari luar . Setiap anak meneladani ayahnya dan ayah meneladani kakeknya. Demikianlah seterusnya sehingga asror mereka terwariskan kepada anak cucunya.
Ketika usia Al-Habib Abdul Qodir sudah cukup dan telah tampak kesungguhan niat beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau mulai mengikuti pendidikan di luar rumah, karena selama ini beliau hanya belajar dengan ayahnya. Pertama kali beliau mengenyam pendidikan di `Ulmah Thoha, yaitu sebuah pendidikan yang diadakan di masjid Toha yang didirikan oleh datuknya Al-Habib Thoha bin Umar Assaqof di kota Sewun. Adapun guru yang mengajar beliau di tempat tersebut adalah As-Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmed. ‘Ulmah Thoha adalah sebuah lembaga pendidikan sederhana yang didirikan atas dasar takwa dan keridhoan Allah, oleh karena itu tempat tersebut telah banyak mencetak orang-orang besar dan tokoh-tokoh ulama pada zaman itu. Di tempat itulah Al-Habib Abdul Qodir bersama anak-anak sebayanya tekun mendalami ilmu qowaidul kitabah, qiroah dan lain-lain, sehingga menjadi kuat dasar-dasar pengetahuannya serta fasih lisannya.
Setelah beberapa waktu kemudian beliau keluar dari ‘Ulmah Thoha dan mencurahkan waktunya untuk lebih banyak duduk dan menimbah ilmu dari ayahnya, sehingga tampak tanda-tanda kemuliaan pada diri beliau. Kemudian atas perintah ayahnya beliau melanjutkan pendidikannya di madrasah An-Nahdhoh Al-`ilmiyah di kota Sewun.
Di madrasah An-Nahdhoh Al-’Ilmiyah ini, Al-Habib Abdul Qodir memperdalam berbagai macam ilmu, seperti ilmu Fiqih, Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Sastra Arab, Tarikh dan Tahfid Al-Quran. Manhaj madrasah ini adalah at-tazkiah (pensucian), at-tarbiyah (pendidikan) dan at-tarqiyah (keluhuran budi pekerti). Mudir (Kepala Sekolah) An-Nahdhoh waktu itu adalah As-Syaikh Al-Adib Ali Ahmad Baktsir. As-Syaikh Ali selalu memperhatikan kemajuan murid-muridnya, sampai-sampai murid-murid yang memiliki kecerdasan dan keunggulan di madrasah, beliau berikan kepada mereka pelajaran tambahan (privat) di rumahnya. Al-Habib Abdul Qodir juga mempelajari ilmu Qiroatus Sab’ah dengan As-Syaikh Hasan Abdullah Baraja’ setelah As-Syaikh Hasan pulang dari Makkah untuk memperdalam ilmu Qiroatul Qur’an.
Selain mendapatkan pengajaran berbagai ilmu di madrasah tersebut, peran ayah beliau, Al-Habib Ahmad, dalam menggembleng beliau cukup besar. Bahkan yang didapatkan Al-Habib Abdul Qodir dari ayahnya lebih banyak daripada yang beliau dapatkan di madrasah. Hari-hari Al-Habib Abdul Qodir penuh dengan kegiatan belajar. Beliau pernah mengatakan bahwa sehari semalam, dalam satu atau dua jalsah dengan ayahnya, beliau bisa mengkhatamkan satu kitab. Dengan demikian waktu beliau menjadi berkah. Dalam waktu yang relatif singkat beliau telah menjadi seorang yang luas pengetahuannya dan luhur budi pekertinya.
Mengajar di Madrasah An-Nahdhoh
Di antara keistimewaan madrasah An-Nahdhoh ini adalah meluluskan lebih awal murid-muridnya yang unggul untuk diperbantukan mengajar di situ. Di antara sekian banyak siswanya, terpilihlah Al-Habib Abdul Qodir untuk diluluskan dan diizinkan mengajar. Tentunya pilihan ini jatuh kepada Al-Habib Abdul Qodir bukanlah sesuatu yang mudah, tapi setelah mengalami proses yang cukup ketat. Ini semua adalah berkat kesungguhan niat beliau dalam belajar dan kegigihan ayah beliau dalam mengembleng, sehingga Al-Habib Abdul Qodir unggul dalam banyak hal di antara teman sebayanya.
Pada suatu saat Al-Habib Abdul Qodir mulai diperintahkan oleh ayahnya untuk mengisi pengajian umum yang biasa diadakan di masjid Thoha bin Umar Ash-Shofi. Dalam penyampaiannya, Al-Habib Abdul Qodir banyak menerangkan hal-hal yang sebelumnya tidak banyak diketahui orang. Dari situlah orang-orang yang hadir tahu bahwa beliau adalah penerus ayahnya dan pewaris sirr para datuknya. Dengan mengajar dan mengisi pengajian itulah, Al-Habib Abdul Qodir telah mencetak santri-santri yang berkualitas yang banyak bersyukur dan menyaksikan keunggulan beliau.
Setelah ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman, meninggal dunia pada tahun 1357 H, maka para masyayikh dan tokoh Alawiyyin saat itu sepakat bahwa beliaulah penerus sang ayah, karena semua kebaikan yang ada pada diri Al-Habib Ahmad telah diwarisi oleh Al-Habib Abdul Qodir. Saat itu beliau telah berusia 25 tahun. Semenjak itu, Al-Habib Abdul Qodir meneruskan apa-apa yang menjadi kebiasaan ayahnya.
Sebagaimana ayahnya, Al-Habib Abdul Qodir mengisi waktunya dengan belajar dan mengajar, serta menunaikan segala kewajiban. Beliau selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Beliau suka menerima tamu dan membantu yang lemah dengan kemampuan yang dimilikinya. Diterangkan dalam kitab At-Takhlis Asy-Syafi, bahwa rumahnya adalah tumpuan para tamu dan beliau tidak pernah membedakan tamu-tamunya. Hampir-hampir terkesan beliaulah satu-satunya orang di kota Sewun yang memuliakan tamu dan gemar membantu orang-orang yang lemah kala itu. Selain itu beliau juga selalu menjaga hubungan silaturrahmi.
Karena ketinggian akhlak beliau itulah, menjadikan semua mata tertuju kepada Al-Habib Abdul Qodir, sehingga banyak orang ingin menimba ilmu darinya. Dimana saja beliau mengajar atau mengisi pengajian, tempat tersebut penuh sesak oleh para hadirin. Setiap apa-apa yang beliau ucapkan, selalu menyentuh hati para pendengarnya.
Di tengah-tengah kesibukannya, Al-Habib Abdul Qodir menyempatkan diri duduk dengan para orangtua, ulama dan para pendidik, untuk membicarakan berbagai macam hal, baik keilmuan ataupun yang lainnya, serta menjalin rasa kasih sayang di antara mereka.
Di rumah beliau terdapat sebuah perpustakaan yang lengkap dan semua kitab tersebut telah dibaca oleh Al-Habib Abdul Qodir di hadapan ayahnya. Semasa hidup ayah beliau, Al-Habib Ahmad, jika mendengar atau melihat sebuah kitab dan kitab tersebut tidak ada dalam perpustakaannya, maka Al-Habib Ahmad menyuruh putranya, Al-Habib Abdul Qodir, untuk membaca dan mencatatnya, dan kemudian disimpan di perpustakaannya itu. Sebagaimana ayah beliau sewaktu mudanya, Al-Habib Abdul Qodir suka membaca buku-buku sastra, sehingga menjadikan beliau seorang yang pandai membuat syair.
Hijrahnya dari Hadramaut
Suatu saat terjadi perubahan negatif pada pemerintahan Yaman Selatan dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan dan upaya untuk menghapus tradisi leluhur dan juga melakukan penekanan terhadap ulama. Para tokoh masyarakat diwajibkan melaporkan diri ke kepolisian 2 kali setiap hari saat pagi dan sore. Tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Kenyataan pahit ini mendorong banyak para tokoh ulama disana, di antaranya Al-Habib Abdul Qodir, untuk meninggalkan Yaman demi menyelamatkan agama dan budaya leluhurnya, .
Dengan dibantu oleh seseorang yang dekat dengan pemerintahan, beliau mendapat izin untuk berhijrah ke kota Aden pada tahun 1393 H. Disana beliau mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tampak kegembiraan masyarakat Aden dengan kedatangan beliau. Di tengah-tengah kesibukannya berdakwah dan menghadiri majlis-majlis di kota Aden, beliau berupaya untuk berhijrah dari Yaman. Dengan ridho dan pertolongan Allah SWT, sebulan setelah kedatangannya di kota Aden, beliau berangkat menuju Singapura.
Di bandara Singapura, beliau disambut oleh banyak orang dan para tokoh Alawiyin saat itu, di antaranya adalah Al-Habib Muhammad bin Salim Al-Atthas dan As-Sayyid Ali Ridho bin Abubakar bin Thoha Assaggaf. Berbagai majlis diselenggarakan untuk menyambut kedatangan Al-Habib Abdul Qodir. Bahkan rumah tempat beliau tinggal penuh sesak oleh tamu yang ingin mengambil berkah dan menimbah ilmu dari beliau.
Pada bulan Juli 1974 M/1393 H, Al-Habib Abdul Qodir meninggalkan Singapura menuju Jakarta. Di Indonesia beliau juga mendapat sambutan yang hangat dari para ulama dan masyarakat di Jakarta. Tokoh Alawiyin yang mendampingi kunjungan beliau di Jakarta antara lain As-Sayyid Salim bin Muhammad Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Umar Maulakheilah, Al-Habib Muhammad bin Ali Alhabsyi (Kwitang), As-Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Jawwas, As-Sayyid Abdurrahman bin Ahmad Assaggaf, Al-Ustadz Hadi bin Sa’id Jawwas, dan lain-lain. Al-Habib Abdul Qodir menghadiri majlis taklim Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi yang diadakan setiap hari Minggu pagi di Kwitang dan berbagai majlis lainnya di Jakarta.
Pada tanggal 13 Jumadil Tsani 1393 H/Agustus 1974 M, Al-Habib Abdul Qodir berkunjung ke Surabaya. Di Surabaya beliau tinggal di rumah Al-Ustadz Ahmad bin Hasan Assaggaf di Jalan Sambas no. 3. Al-Ustadz Ahmad mengurus segala keperluan dan perjalanan Al-Habib Abdul Qodir ke berbagai kota di Jawa Timur. Selama Al-Habib Abdul Qodir di Surabaya, rumah Al-Ustadz Ahmad penuh dengan tamu yang datang dari berbagai kota. Al-Ustadz Ahmad melayani mereka dengan penuh sabar dan tulus, bahkan menyediakan kendaraan bagi para tetamu yang ingin ikut mengiringi perjalanan Al-Habib Abdul Qodir.
Di setiap tempat yang dikunjungi, Al-Habib Abdul Qodir tidak hanya berdakwah, namun menaruh perhatian besar pada keadaan kaum Alawiyin. Setiap kota yang dimasuki, yang pertama ditanyakan oleh beliau adalah bagaimana keadaan Alawiyyin. Jika ada yang sakit, beliau mengunjunginya. Yang faqir, beliau santuni. Yang berselisih, beliau damaikan. Demikianlah aktivitas beliau sepanjang hidupnya, dimana saja beliau berada hingga akhir hayatnya.
Pada tahun yang sama, Al-Habib Abdul Qodir berhijrah dari Indonesia menuju Hijaz. Berbondong-bondong khalayak melepas kepergian beliau dengan penuh kesedihan dan air mata. Mereka menginginkan Al-Habib Abdul Qodir tetap tinggal di Indonesia. Demikian dalam kesedihan mereka hingga Al-Habib Abdul Qodir menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa beliau akan datang berkunjung kembali ke Indonesia setelah beliau berziarah dan mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada Nabi SAW di kota Madinah.
Guru-guru beliau
Al-Habib Abdul Qodir menimbah ilmu dari banyak guru. Setiap berkunjung ke suatu tempat, beliau menyempatkan diri untuk menggali ilmu dari para ulama dan orang-orang sholeh di tempat tersebut. Di antara guru beliau adalah Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaqoff (ayah beliau), Al-Habib Umar bin Hamid bin Umar Assaqoff, Al-Habib Umar bin Abdul Qodir bin Ahmad Assaqoff, Al-Habib Abdul Bari bin Syaikh Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Hadi Assaqof, Al-Habib Sholeh bin Muhsin Alhamid (Tanggul), Al-Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aidrus, dan lain-lain.
Murid-murid beliau
Di antara para murid beliau adalah Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al haddar, Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Smith, Al-Habib Salim bin Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, Al-Habib Abubakar Al-’Adany bin Ali Al-Masyhur, As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Al-Habib Abubakar bin Hasan Al-Atthas dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.
Demikianlah Al-Habib Abdul Qodir menghabiskan hari-harinya dengan belajar, mengajar dan membantu kaum yang lemah hingga ajal menjemputnya. Beliau wafat pada waktu Subuh, hari Minggu, tanggal 19 Rabiul Tsani 1431 (4 April 2010 M) pada usia 100 tahun. Jenazah beliau disholatkan di Masjidil Haram dan disemayamkan di pekuburan Ma’la setelah sholat Isya pada hari yang sama.

Biografi Habib Zein bin Ibrahim bin Smith

 Habib Zain lahir di ibukota Jakarta pada  tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahim adalah ulama besar di bumi Betawi kala itu, selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat religius.
Guru-gurunya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz, Habib Umar bin Alwi al-Kaf, Al-Allamah Al-Sheikh Mahfuz bin Salim, Sheikh Salim Said Bukayyir Bagistan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, Habib Muhammad Al-Haddar (mertuanya).
pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan
Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim. Di bumi awliya’ itu Habib  Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan.
Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Habib Zain berguru kepada
sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah
lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath Tarim.
Di pesantren ini nampaknya Habib Zain merasa cocok dengan keinginannya.
Di sana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan
(mukhtashar) dalam bidang fikih kepada Habib Muhammad bin Salim bin
Hafidz, di bawah asuhan Habib Muhammad pula, Habib Zain berhasil menghapalkan
kitab fikih buah karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya
Asy-Syarraf Ibn Al-Muqri.
Tak cukup di situ, Habib Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh
Habib Muhammad sendiri, menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah
As-Shadiq” karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya.
Dalam penyampaiannya di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah
ulama besar seperti Habib Umar bin Alwi Al-Kaf, Syekh Salim Sa’id
Bukhayyir Bagitsan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Syekh Fadhl bin
Muhammad Bafadhl, Habib Abdurrahman bin Hamid As-Sirri, Habib Ja’far bin
Ahmad Al-Aydrus, Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar
bin Abdullah  Al-Atthas.
Selain menimba ilmu  di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para
ulama demi mendapat ijazah, semisal Habib Muhammad bin Hadi Assaqof,
Habib Ahmad bin Musa Al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki,
Habib Umar bin Ahmad bin Smith, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha
Al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assaqof dan Habib Muhammad bin
Ahmad Assyatiri. Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat
disimpulkan, betapa besar semangat Habib Zain dalam rangka merengkuh ilmu
pengetahuan agama, apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana,
yaitu kurang lebih delapan tahun.
kemudian salah seorang gurunya bernama Habib
Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya pindah ke kota Baidhah,
salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman, untuk mengajar di ribath
sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti
Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar.
Dalam perjalanan ke sana, Habib Zain singgah dulu di kediaman seorang
teman dekatnya di wilayah Aden, Habib Salim bin Abdullah Assyatiri,
yang saat itu menjadi khatib dan imam di daerah Khaur Maksar, disana
Habib Zain tinggal beberapa saat.
Selanjutnya Habib Zain melanjutkan perjalanannya
di Baidhah, Habib Zain pun mendapat sambutan hangat dari sang
tuan rumah Habib Muhammad Al-Haddar, di sanalah untuk pertama kali ia
mengamalkan ilmunya lewat mengajar.
Habib Zain menetap lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’ menjadi khadam ilmu kepada para penuntutnya, beliau juga menjadi mufti dalam Mazhab Syafi’e. Setelah itu beliau berpindah ke negeri Hijaz
selama 12 tahun, Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim Assyatiri menguruskan Rubath di Madinah,Setelah itu Habib Salim telah berpindah ke Tarim Hadhramaut untuk menguruskan Rubath Tarim.
Habib Zain di Madinah diterima dengan ramah, muridnya banyak dan terus bertambah, dalam kesibukan mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat, keinginan untuk terus menuntut ilmu tidak pernah pudar.
Beliau mendalami ilmu Usul daripada Sheikh Zay dan Al-Syanqiti Al-Maliki. Habib Zain terus menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad Hamid Al-Hasani dalam ilmu bahasa dan Ushuluddin.
Habib Zain seorang yang tinggi kurus. Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Beliau sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain keluar bersolat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk mengajar. Majlis Rauhah setelah asar sehingga maghrib.

Manaqib Al Maghfurlah Al Habib Anis bin Alwi Al Habsy

Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.
Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.
Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.
Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.
Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.
Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.
Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.
Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.
Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”
Dalam salah satu tausiyah, Habib Jindan mengatakan, “Seperti saat ini kita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.
Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.
Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.
Habib Abdullah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau, mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.
Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempuh jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……
Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”
Ada empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”…….

Al Habib Muhammad bin Husein Alaydrus (Habib Neon)


Ulama yang Berjuluk Habib Neon
Dia salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan ahlaqnya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf
Suatu malam, beberapa tahun lalu, ketika ribuan jamaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba listrik padam. Tentu saja kontan mereka risau, heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Ia mengenakan gamis dan sorban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia adalah Habib Muhammad bin Husein bin Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus yang ketika lahir ia diberi nama Muhammad Masyhur.
Begitu masuk ke dalam masjid, aneh bin ajaib, mendadak masjid terang benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah terheran-heran. Apa yang terjadi? Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Bukan main! Maka, sejak itu sang habib mendapat julukan Habib Neon …
Habib Muhammad lahir di Tarim, Hadramaut, pada 1888 M. Meski dia adalah seorang waliyullah, karamahnya tidak begitu nampak di kalangan orang awam. Hanya para ulama atau wali yang arif sajalah yang dapat mengetahui karamah Habib Neon. Sejak kecil ia mendapat pendidikan agama dari ayahandanya, Habib Husein bin Zainal Abidin Alaydrus. Menjelang dewasa ia merantau ke Singapura selama beberapa bulan kemudian hijrah ke ke Palembang, Sumatra Selatan, berguru kepada pamannya, Habib Musthafa Alaydrus, kemudian menikah dengan sepupunya, Aisyah binti Musthafa Alaydrus. Dari pernikahan itu ia dikaruniai Allah tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan.
Tak lama kemudian ia hijrah bersama keluarganya ke Pekalongan, Jawa Tengah, mendampingi dakwah Habib Ahmad bin Tholib Al-Atthas. Beberapa waktu kemudian ia hijrah lagi, kali ini ke Surabaya. Ketika itu Surabaya terkenal sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan awliya, seperti Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya.
Selama mukim di Surabaya, Habib Muhammad suka berziarah, antara lain ke makam para wali dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa Timur. Dalam ziarah itulah, ia konon pernah bertemu secara ruhaniah dengan seorang wali kharismatik, (Alm) Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik.
Open House
Seperti halnya para wali yang lain, Habib Muhammad juga kuat dalam beribadah. Setiap waktu ia selalu gunakan untuk berdzikir dan bershalawat. Dan yang paling mengagumkan, ia tak pernah menolak untuk menghadiri undangan dari kaum fakir miskin. Segala hal yang ia bicarakan dan pikirkan selalu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran agama, dan tak pernah berbicara mengenai masalah yang tak berguna.
Ia juga sangat memperhatikan persoalan yang dihadapi oleh orang lain. Itu sebabnya, setiap jam 10 pagi hingga waktu Dhuhur, ia selalu menggelar open house untuk menmui dan menjamu para tamu dari segala penjuru, bahkan dari mancanegara. Beberapa tamunya mengaku, berbincang-bincang dengan dia sangat menyenangkan dan nyaman karena wajahnya senantiasa ceria dan jernih.
Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isya ia perguankan untuk menelaah kitab-kitab mengenai amal ibadah dan akhlaq kaum salaf. Dan setiap Jumat ia mengelar pembacaan Burdah bersama jamaahnya.
Ia memang sering diminta nasihat oleh warga di sekitar rumahnya, terutama dalam masalah kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan problem-problem masyarakat lainnya. Itu semua dia terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Dan konon, ia sudah tahu apa yang akan dikemukakan, sehingga si tamu manggut-manggut, antara heran dan puas. Apalagi jika kemudian mendapat jalan keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung. Beliau adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Alaydrus, kemenakan dan menantunya, yang juga pimpinan Majelis Taklim Syamsi Syumus, Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan.
Di antara laku mujahadah (tirakat) yang dilakukannya ialah berpuasa selama tujuh tahun, dan hanya berbuka dan bersantap sahur dengan tujuh butir korma. Bahkan pernah selama setahun ia berpuasa, dan hanya berbuka dan sahur dengan gandum yang sangat sedikit. Untuk jatah buka puasa dan sahur selama setahun itu ia hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam Gahazali. Satu mud ialah 675 gram. ”Aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Ketika itu aku juga menguji nafsuku dengan meniru ibadah kaum salaf yang diceritakan dalam kitab-kitab salaf tersebut,” katanya.
Habib Neon wafat pada 30 Jumadil Awwal 1389 H / 22 Juni 1969 M dalam usia 71 tahun, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Alaydrus, sesuai dengan wasiatnya. Setelah ia wafat, aktivitas dakwahnya dilanjutkan oleh putranya yang ketiga, Habib Syaikh bin Muhammad Alaydrus dengan membuka Majelis Burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Neon diselenggarakan setiap hari Kamis pada akhir bulan Jumadil Awal.
Pewaris Rahasia Imam Ali Zainal Abidin
Al-Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus lahir di kota Tarim Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat dan karomah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, karena memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.
Sejak kecil habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri al-’Arifbillah Habib Husein bin Zainal Abidin al-Aydrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, beliau al-Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.
Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.S an-Nisa’:97)
Setelah merantau ke Singapura, beliau pindah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dan dikaruniai seorang putri. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang menjadi saksi bisu pertemuan beliau untuk pertama kalinya dengan al-Imam Quthb al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf, Gresik. Di Pekalongan jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Tholib al-Atthos.
Dari Pekalongan beliau pidah ke Surabaya tempat Habib Musthafa al-Aydrus yang tidak lain adalah pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:
Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu
Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu. Selama menetap di Surabaya pun Habib Muhammad al-Aydrus masih suka berziarah, terutama ke kota Tuban dan Kudus selama 1-2 bulan.
Dikatakan bahwa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani ‘Alawy yang terpilih dan terbaik karena mereka mewarisi asrar (rahasia-rahasia). Mulai dari ayah, kakek sampai kakek-kakek buyut beliau tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang telah menyelami ilmu ma’rifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan beliau-beliau sebagai figur teladan.
Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga al-Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma’qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang) maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para ashlafuna ash-sholihin).
Habib Muhammad al-Aydrus adalah tipe orang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang karena memandang wajah beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.
Setiap hari jam 10 pagi hingga dzuhur beliau selalu menyempatkan untuk openhouse menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara maghrib sampai isya’ beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jum’at beliau mengadakan pembacaan Burdah bersama para jamaahnya.
Beliau al-Habib Muhammad al-Aydrus adalah pewaris karateristik Imam Ali Zainal Abidin yang haliyah-nya agung dan sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:
_Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya
Juga para tabi’in. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya_
_Mereka menelusuri jalan menuju kemulyaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan_
Diantara mujahadah beliau r.a, selama 7 tahun berpuasa dan tidak berbuka kecuali hanya dengan 7 butir kurma. Pernah juga beliau selama 1 tahun tidak makan kecuali 5 mud saja. Beliau pernah berkata, “Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab itu”.


Habib Umar bin Hafidz

Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.
Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.
Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr.
Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.
Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.
Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.
Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.
Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi.
Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.
Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.
Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.

Mengenal Lebih Dekat Sosok Al Habib Ali Zainal Abidin Al Jufri

  
Berwajah tampan dengan sosoknya yang tinggi besar dan berbadan tegap. Jubah dan sorban yang dikenakan membuatnya lebih berwibawa. Saat ini beliau menjadi idola dan panutan para kawula muda di negara-negara Timur Tengah. Dialah Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al Jufri. Ayah beliau pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Yaman Selatan, saat negeri Yaman belum menjadi Negara kesatuan seperti sekarang ini. Sejak kecil Habib Ali berguru kepada Al Maghfurlah Al Imam Al Habib abdulqadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah, Saudi Arabia. Beliau mendapatkan nadzrah (pandangan) khusus dari Al Imam Al Habib abdulqadir bin Ahmad Assegaf. Kemudian Al Imam Al Habib abdulqadir bin Ahmad Assegaf memerintahkan beliau untuk mengikuti Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz bin Syeikh Abibakar dan beliau termasuk generasi awal murid-murid Habib Umar bin Hafidz. Sejak awal keistimewaan Habib Ali Al Jufri sudah nampak baik bakat suluknya maupun keistimewaan akalnya yang tajam dan cerdas melampaui murid-murid lainnya.
Beliau berdakwah menyeru manusia kepada Allah dan Rasul-Nya dengan berjalan di atas manhaj salafunasshalihin dengan thariqah ba`alawi dan madzhab Syafi`i. Karena keikhlasannya yang tinggi, maka Allah pun mengangkat namanya. Kini beliau aktif berdakwah kesegala penjuru dunia, masuk dikalangan yang paling bawah, diantaranya suku-suku di pedalaman Afrika, hingga kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran di Uni Emirat Arab. Bakan sekarang di Uni Emirat Arab beliau diangkat menjadi Rais Musytasyar Dini, di Indonesia setingkat dengan jabatan ketua MUI. Beliau diterima mulai dari kalangan awam, hingga kalangan cendekiawan seperti: Assyeikh Ali Jum`ah (Mufti Mesir), Assyiekh Muhammad Sa`id Ramadhan(Mufti Syuria), Assyeikh Bayyah, serta ulama-ulama besar lainnya di zaman ini. Usianya belum mencapai 40 tahun, namun ilmua dan budi pekertinya sangatlah agung. Beliau berdakwah kebeberapa negara didunia, diantaranya di Timur Tengah, Uni EMirat Arab, Saudi Arabia, Yaman, Oman, Syuria, Libanon, dll. Kawasan Asia diantaranya India, Pakistan, Brunai, Malaysia, Thailand, Indonesia, dll. Kawasan Afrika diantaranya Mesir, Sudan, Somalia, dll. Negara-negara kawasan Eropa TImur, hingga negara-negara barat, diantaranya: Inggris, Denmark, Jerman, Amerika Serikat, dll. Terutama Inggris, hamper setiap tahun dikunjunginya. Di Timur Tengah siapa tidak kenal Habib Ali Al Jufri, beliau menapaki jejak inernasionalnya mulai dari Negara Mesir, banyak sekali para artis dan seniman yang bertaubat ditangannya, hingga pemerintah Mesir merasa khawatir bahwa hal ini akan memberikan dampak buruk bagi industri perfilman di Mesir, yang merupakan salah satu sumber penghasilan utama negri Mesir setelah pariwisata. Artis yang dulunya terbuka jadi berjilbab, yang dulunya aktor menjadi da`I,seperti Wajdi Al `Arabi, aktor kawakan di Mesir, dan masih banyak lagi lainnya. Pemerintah Mesir akhirnya melarang Habib Ali Al Jufri untuk berdakwah di Mesir. Namun itu tidak menyurutkan langkah dakwahnya, beliau malah meluaskan dakwahnya keberbagai negeri arab lainnya. Maka meluaslah pengaruhnya,karena cara dakwah beliau yang sejuk, simpatik, dengan pandangan-pandangannya yang cerdas, tajam serta pembawaannya menarik hati dan akhlak luhurnya yang dapat mempengaruhi orang yang duduk dengannya. Pada akhirnya beliau menjadikan ABU DHABI sebagai tempat tinggal dan aktifitas dakwahnya dan secara rutin beliau tampil dibeberapa stasiun televise di negara-negara Arab.
Dalam penyampaiannya, kata-kata Habib Ali Al Jufri menyentuh akal dan hati manusia. Di Jerman, beliau membuat jama`ah masjid sebanyak tiga lantai menangis tersedu-sedu mendengaar ceramahnya, di Inggris beliau punya andil besar dalam pelaksanaan Maulid Nabi di Stadion Wembley, di Denmark, beliau mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa saat memanasnya peristiwa kartun Nabi Muhammad SAW. SSetiap tahunnya beliau menjadi pembicaraan rutin dalam Dauroh (Pesantren kilat) Internasional yang diadakan oleh Al Habib Umar bin Hafidz di Pondok Pesantren Darul Mustafa Tarim, Hadramaut. Dalam Daurah tersebut Habib Ali menyampaikan Fikrah Dakwah (ide-ide baru dan cemerlang dalam dunia dakwah). Al Habib Umar bin Hafidz mempercayakan topik ini kepada beliau karena keluasan wawasan Habib Ali tentang metode dakwah internasional. Berbagai aktifitas dakwah Habib Ali Al Jufri selengkapnya dapat di ikuti di website beliau: www.alhabibali.org. Website ini memberitakan sebagian aktivitas beliau yang sangat padat.
Para da`i muda di Timur Tengah beliau rangkul, para pemuda yang berbakat beliau bimbing dan diarahkan kepada manhaj salafuna shalihin. Beliau sangat suka duduk bersama para pemuda dan mengadakan dialog terbuka secara bebas.
Metode dakwah Habib Ali Al Jufri merupakan salah satu bentuk representasi dari manhaj dakwah Ahlussunnah wal jama`ah dengan berjalan diatas jalan para salafunasshalihin dari kalangan keluarga ba`alawi, yaitu dakwah bil hikmah wal mauidhotil hasanah serta di iringi dakwah `ala bashiroh atau dakwah dengan menggunakan pandangan mata hati yang jernih.
Semoga Allah SWT menjaga kesehatan beliau, memudahkan segala urusan beliau dan memanjangkan usia beliau amin….dan semoga para da`i muda dapat bercermin pada metode dakwah beliau. Wallahu a`lam.

Biografi Habib Munzir Al-Musawa

 Al-Allamah wal Fahamah Sayyidi Syarif Al-Habib Munzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Al-musawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Alghayur bin Muhammad Faqihil Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib bin Ali Al Uraidhiy bin Jakfar Asshadiq bin Muhammad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Dari Fathimah Azahra Putri Rasul SAW.
Nama beliau Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Almusawa, dilahirkan di Cipanas Cianjur Jawa barat, pada hari jum’at 23 februari 1973, bertepatan 19 Muharram 1393H, setelah beliau menyelesaikan sekolah menengah atas, beliau mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus bhs.Arab di LPBA Assalafy Jakarta timur, lalu memperdalam lagi Ilmu Syari’ah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, kemudian beliau meneruskan untuk lebih mendalami Syari’ah ke Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman pada tahun 1994, selama empat tahun, disana beliau mendalami Ilmu Fiqh, Ilmu tafsir Al Qur;an, Ilmu hadits, Ilmu sejarah, Ilmu tauhid, Ilmu tasawuf, mahabbaturrasul saw, Ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.
Habib Munzir Al-Musawa kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah, dengan mengunjungi rumah rumah, duduk dan bercengkerama dg mereka, memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan, lalu atas permintaan mereka maka mulailah Habib Munzir membuka majlis, jumlah hadirin sekitar enam orang, beliau terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah swt, yang membuat hati pendengar sejuk, beliau tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt, bukan berarti harus duduk berdzikir sehari penuh tanpa bekerja dll, tapi justru mewarnai semua gerak gerik kita dengan kehidupan yang Nabawiy, kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang Nabawiy, pejabat yang Nabawiy, pedagang yang Nabawiy, petani yang Nabawiy, betapa indahnya keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat adalah terwarnai dengan kenabawian, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah Dakwah Nabi Muhammad saw yang hakiki, masing masing dg kesibukannya tapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan, inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Majelisnya mengalami pasang surut, awal berdakwah ia memakai kendaraan umum turun naik bus, menggunakan jubah dan surban, serta membawa kitab-kitab. Tak jarang beliau mendapat cemoohan dari orang-orang sekitar. Beliau bahkan pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Kini majlis taklim yang diasuhnya setiap malam selasa di Masjid Al-Munawar Pancoran Jakarta Selatan, yang dulu hanya dihadiri tiga sampai enam orang, sudah berjumlah sekitar 10.000 hadirin setiap malam selasa, Habib Munzir sudah membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta dan sekitarnya, beliau juga membuka majelis di rumahnya setiap malam jum’at bertempat di jalan kemiri cidodol kebayoran, juga sudah membuka majlis di seputar pulau jawa, yaitu:
Jawa barat :
Ujungkulon Banten, Cianjur, Bandung, Majalengka, Subang.
Jawa tengah :
Slawi, Tegal, Purwokerto, Wonosobo, Jogjakarta, Solo, Sukoharjo, Jepara, Semarang,
Jawa timur :
Mojokerto, Malang, Sukorejo, Tretes, Pasuruan, Sidoarjo, Probolinggo.
Bali :
Denpasar, Klungkung, Negara, Karangasem.
NTB
Mataram, Ampenan
Luar Negeri :
Singapura, Johor, Kualalumpur.
Buku-buku yang sering menjadi rujukan beliau di majelisnya antara lain: kitab As-syifa (Imam Fadliyat), Samailul Muhammadiyah (Imam Tirmidzi), Mukasyifatul Qulub (Imam Ghazali), Tambili Mukhdarim (Imam Sya’rani), Al-Jami’ Ash-Shahih/Shahih Bukhari (Imam Bukhari), Fathul Bari’ fi Syarah Al-Bukhari (Imam Al-Astqalani), serta kitab karangan Imam Al-Haddad dan kitab serta pelajaran yang didapat dari guru beliau Habib Umar bin Hafidh.
Nama Rasulullah SAW sengaja digunakan untuk nama Majelisnya yaitu “Majelis Rasulullah SAW”, agar apa-apa yang dicita-citakan oleh majelis taklim ini tercapai. Sebab beliau berharap, semua jamaahnya bisa meniru dan mencontoh Rasulullah SAW dan menjadikannya sebagai panutan hidup.
Adapun guru-guru beliau antara lain:
Habib Umar bin Hud Al-Athas (cipayung), Habib Aqil bin Ahmad Alaydarus, Habib Umar bin Abdurahman Assegaf, Habib Hud Bagir Al-Athas, di pesantren Al-Khairat beliau belajar kepada Ustadz Al-Habib Nagib bin Syeikh Abu Bakar, dan di Hadramaut beliau belajar kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim (Rubath Darul Mustafa), juga sering hadir di majelisnya Al-Allamah Al-Arifbillah Al-Habib Salim Asy-Syatiri (Rubath Tarim).
Dan yang paling berpengaruh didalam membentuk kepribadian beliau adalah Guru mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim.
Salah satu sanad Guru beliau adalah:
Al-Habib Munzir bin fuad Al-Musawa berguru kepada Guru Mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Musnid Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim,
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Assegaf,
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdullah Assyatiri,
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (simtuddurar),
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur (shohibulfatawa),
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Husen bin Thohir,
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Umar bin Seggaf Assegaf,
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Hamid bin Umar Ba’alawiy,
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Habib Al-Hafizh Ahmad bin Zein Al-Habsyi,
Dan beliau berguru kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (shohiburratib),
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Husein bin Abubakar bin Salim,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Abubakar bin Salim (fakhrulwujud),
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Syahabuddin,
Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman bin Ali (Ainulmukasyifiin),
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Abubakar (assakran),
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abubakar bin Abdurrahman Assegaf,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman Assegaf,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Muhammad Mauladdawilah,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Alwi Al-ghayur,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Imam faqihilmuqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawiy,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbath,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Shahib Marbath bin Ali,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Khali’ Qasam bin Alwi,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Muhammad,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Ubaidillah,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Arrumiy,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Al-Uraidhiy bin Ja’far Asshadiq,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ja’far Asshadiq bin Muhammad Al-Baqir,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Zainal Abidin Assajjad,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Husein ra,
Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Ali bin Abi Thalib ra,
Dan beliau berguru kepada Semulia-mulia Guru, Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW, maka sebaik-baik bimbingan guru adalah bimbingan Rasulullah SAW.
Sanad guru beliau sampai kepada Rasulullah SAW, begitu pula nasabnya. Demikian biografi singkat ini dibuat mohon maaf apabila ada kesalahan.