Allah

Selasa, 15 Maret 2011

Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah, Memelihara Jejak-jejak Salaf As-Soleh

Syeikh Abu Bakar bin Salim mengatakan, “Siapa yang tidak bersungguh-sungguh di permulaannya, tidak akan sampai di penghabisannya.”

Beberapa bulan terakhir, ada sebuah buku yang banyak dicari-cari orang. Buku tersebut memuat kumpulan biografi para habib yang memiliki peranan penting dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia. Judulnya, 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia. Kerana respons peminatnya yang cukup besar, hanya dalam tempoh tiga bulan buku tersebut sudah tiga kali cetak ulang. Hingga diturunkannya tulisan ini, buku itu sudah dicetak hingga 12 ribu naskah.

Bila diperhatikan secara saksama, buku tersebut memiliki keunikan tersendiri dibanding buku-buku sejenis lainnya. Selain memuat kisah perjalanan para habib sebagai insan-insan dakwah yang memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan agama Islam di tanah air, buku tersebut juga dilengkapi banyak foto eksklusif para habib itu sendiri.

Tidak menghairankan, kerana ternyata buku itu disusun seorang sayyid muda yang sudah lebih dari sepuluh tahun terakhir bersusah payah mengumpulkan dan memelihara foto-foto para habib. Dari yang antik-antik atau foto-foto habaib dan ulama tempoh dulu, hingga foto-foto habaib zaman sekarang. Di samping mengoleksi foto, ia juga gemar mengumpulkan kisah-kisah perjalanan hidup mereka.

Dulu, di awal kesukaannya mengumpulkan foto-foto habaib dan manaqib para salaf, tidak terbersit sedikit pun dalam pikirannya bahwa pada suatu saat kelak ia akan menyusun buku semacam ini. Namun sekarang, terbitnya buku tersebut adalah salah satu bentuk natijah (buah) dari keringat himmah (kesungguhan)-nya selama ini, yang dengan penuh suka dan duka mengumpulkan jejak-jejak dakwah para habib.

Siapakah sayyid muda penulis buku itu? Dialah Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah.

Kenikmatan Memandang Wajah Habaib


Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah lahir pada tanggal 8 Juni 1982 di kota Solo, dari pasangan Habib Umar bin Agil bin Umar Mauladawilah (asal kota Malang) dan Syarifah Sidah binti Abdullah bin Husen Assegaf (asal kota Solo).

Dua tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 Februari 2007, ayah Habib Abdul Qadir wafat. Rencananya, sang ayah pada musim haji tahun ini akan berangkat haji. Tapi Allah SWT telah memanggilnya terlebih dahulu.

Dulu, saat orangtuanya menikah, yang menikahkan adalah Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah.

Setelah dikaruniai seorang putra, Habib Umar bin Agil Mauladawilah (ayah Habib Abdul Qadir, penulis buku ini) menemui Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan menyampaikan kabar tentang kelahiran putra pertamanya. Saat itu, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf-lah yang memberikan nama si anak yang baru lahir tersebut. Nama yang diberikan adalah sebagaimana namanya sendiri. Yaitu, Abdul Qadir.

Masa usia sekolah Habib Abdul Qadir dijalani seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Ia masuk Sekolah Dasar Negeri 7 Sukun, Malang, dan kemudian melanjutkannya ke SMP Negeri 12 Malang. Selepas jenjang sekolah menengah, ia melanjutkan pendidikannya pada Madrasah Aliyah Daaruttauhid Malang sambil mondok di Pondok Pesantren Daruttauhid, yang pada masa itu masih di bawah asuhan Ustadz Abdullah bin Awwadh Abdun. Ia menyelesaikan pendidikan aliyahnya ini pada tahun 2000.

Setelah selesai pendidikan MA, ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia masih meneruskan pendidikan diniyah di Pondok Pesantren Daruttauhid tersebut hingga tahun 2001, yaitu setelah gurunya, Ustadz Abdullah Abdun, wafat.

Sebelum masuk pondok, ia lebih fokus pada pendidikan umum dan sama sekali belum terpikirkan akan bergerak di bidang keagamaan. Kegiatan yang merupakan kegemarannya mengumpulkan dokumentasi di seputar habaib baru dimulai sejak tahun 1997, saat ia masuk Pesantren Daruttauhid.

Saat tinggal di pesantren tersebut, ia mulai merasakan adanya kenikmatan tersendiri saat berkumpul dan duduk dalam satu majelis bersama para habib. Ia pun kemudian mulai turut hadir pada acara-acara Maulid Nabi SAW ataupun haul para habib di sekitar Jawa Timu.
Seingatnya, setelah ia tinggal di Daruttauhid, acara yang pertama kali dihadirinya adalah haul Habib Shalih bin Muhsin Al-Hamid, Tanggul, Jember, Jawa Timur.

Dalam majelis-majelis ilmu seperti itu, baik di dalam pesantren sendiri maupun di acara-acara perayaan seperti acara haul, hatinya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ia merasakan kenikmatan bathiniah yang sukar dilukiskan.

Benarlah apa yang disebutkan dalam kalam Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi yang termaktub pada kitab Al-Manhaj As-Sawi, karya Habib Zen bin Ibrahim Bin Smith, “Duduk satu saat bersama orang-orang shalih, lebih bermanfaat bagi seorang hamba dari seratus atau seribu kali ‘uzlah (menyendiri, menyepi, menghindarkan diri atau mengasingkan diri dari lalu-lalangnya kehidupan duniawi demi penyucian diri – Red.).” Saat itu ia juga merasakan kenikmatan tersendiri kala memandang teduhnya wajah para habib yang datang pada acara-acara yang ia hadiri. Di hatinya pun mulai tumbuh rasa suka memandang wajah mereka, meskipun hanya lewat lembaran-lembaran fotonya.

Ia ingat, pertama kali foto yang didapatkannya adalah foto-foto Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan Habib Umar Bin Hud Al-Attas. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dapat dikatakan adalah salah satu tokoh terpenting habaib saat ini. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf ini pulalah orang yang telah menikahkan orangtuanya dan memberikan nama pada dirinya sewaktu ia lahir. Sementara Habib Umar Bin Hud Al-Attas adalah seorang wali besar dari kota Jakarta yang telah wafat beberapa tahun silam. Saat memandang kedua tokoh habaib tersebut, hatinya berdecak kagum.

Sebuah maqalah ulama dalam kitab Nashaih Al-‘Ibad, karya Syaikh Nawawi Al-Bantani, menyebutkan bahwa di antara manusia ada yang jika kita memandang wajahnya kita akan merasa bahagia. Demikianlah, dari sana kemudian timbul keinginan untuk mengabadikan momen-momen yang menyentuh hatinya tersebut, dan ia pun mulai aktif mengumpulkan foto-foto para habib.

Sejak dari acara haul Habib Shalih Tanggul yang pertama kali ia hadiri kala itu, ia mulai menikmati aktivitasnya mengambil gambar saat berlangsungnya acara dengan kamera seadanya yang ia miliki.

Tanpa disadarinya, keasyikan yang kemudian dijalaninya secara serius dalam mengumpulkan foto para habib dari sejak ia masih nyantri di Daruttauhid, merupakan titik tolak penting dalam perjalanan hidupnya kelak.

Dalam salah satu kalamnya, Asy Syaikh Abubakar bin Salim mengatakan, “Siapa yang tidak bersungguh-sungguh di permulaannya, tidak akan sampai di penghabisannya.” Sekalipun kalam itu lebih ditujukan pada konteks mujahadah an-nafs (kesungguh-sungguhan dalam perjuangan melawan keinginan syahwat dan berbagai kecenderungan jiwa rendah), dari keumuman redaksi kalimat yang digunakan, konteks permasalahannya dapat diperluas. Terkait dengan kalam tersebut, perjalanan hidup Habib Abdul Qadir ini juga dapat menjadi hikmah bagi siapa pun yang menjalani segala kebaikan secara bersungguh-sungguh.

Terinspirasi dari Sang Guru
Sewaktu mondok dulu, anak pertama dari empat bersaudara ini juga menyaksikan betapa Ustadz Abdullah Abdun, gurunya, sangat ta’zhim kepada guru tempat Ustadz Abdullah Abdun menimba ilmu agama dulu. Guru yang dimaksud adalah Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri Madrasah Al-Khairat, Palu, Sulawesi Tengah.

Bertahun-tahun lamanya Ustadz Abdullah Abdun berguru kepada Habib Idrus Al-Jufri. Setelah wafatnya Habib Idrus Al-Jufri, beberapa tahun kemudian Ustadz Abdullah Abdun menuliskan sebuah risalah yang berisi biografi sang Guru Tua, julukan bagi Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.
Habib Abdul Qadir merasa, apa yang dilakukan gurunya tersebut benar-benar dapat menjadi manfaat bagi dirinya dan juga untuk orang banyak lainnya yang ingin mengetahui perjalanan hidup Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.

Di samping mengoleksi foto-foto, ia pun kemudian menemukan kebiasaan baru lainnya, yaitu mengoleksi manaqib para ulama dan habaib. Dengan membaca manaqib mereka, ia merasa lebih dekat dengan mereka.

Selain mengoleksi manaqib yang telah cukup banyak tertulis, ia juga mengoleksi kumpulan manaqib dari kutipan-kutipan ceramah para pembicara di acara-acara haul. Di acara-acara tersebut, biasanya pembicara mengisahkan perjalanan hidup orang yang sedang dirayakan haulnya. Merekam isi ceramah saat acara berlangsung adalah salah satu kiatnya untuk mengumpulkan kisah-kisah para habib dengan menggunakan tape recorder miliknya.

Pada akhirnya, Habib Abdul Qadir ini pun sekaligus sempat menjadi seorang kolektor kaset rekaman isi ceramah-ceramah keagamaan pula. Jumlah kaset yang dikoleksinya bertambah dari waktu ke waktu.

Dalam aktivitas merekam itu, ia selalu berusaha merekam selengkap mungkin. Sewaktu acara di
tempat Habib Anis Solo misalnya, ia merekamnya dari mulai acara rauhah, haul, hingga Maulid-nya. Sehingga kalau hadir di acara haul Solo, paling sedikit ia harus membawa lima buah kaset. Apalagi kalau ia hadir dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi SAW di Jakarta, yang berlangsung sekitar dua hingga tiga pekan lamanya. Sepulangnya dari Jakarta, ia bisa membawa sekurang-kurangnya 70 kaset hasil rekaman.

Kalau acara haul di Tegal dan Pekalongan, di masing-masing kota tersebut ia harus menyediakan minimal sekitar tujuh sampai delapan kaset.

Di samping koleksi foto-fotonya, koleksi kasetnya pun bertambah dari waktu ke waktu. Kendala yang dihadapi olehnya dalam mengoleksi kaset ternyata tidak sederhana. Dalam menatanya, butuh waktu yang tidak singkat. Ia perlu memutar dulu masing-masing kaset koleksinya untuk kemudian menandainya satu per satu. Maklum saja, pada saat awal ia mengoleksi kaset itu, teknologi suara digital belum terlalu akrab di kota tempat tinggalnya.

Belum lagi perawatan pada fisik kaset koleksinya. Bila tidak dirawat dengan baik, pita kaset akan menjamur. Hingga pernah suatu ketika sekitar 250 kumpulan koleksi kasetnya rusak termakan jamur.

Akhirnya ia sendiri mulai agak kewalahan menangani jumlah kaset rekamannya yang semakin banyak. Sementara dulu teknologi penyimpanan data digital tidak cukup mudah dijangkau seperti zaman sekarang. Sekarang semua orang dapat mengkonversi suara sebagai data digital dan kemudian dimasukkan pada media penyimpan data, seperti dalam hard disk, flash disk, CD, DVD, dan yang sejenisnya, dengan sebegitu mudahnya. Kalaupun dulu ada, harganya pun masih relatif sangat mahal.

Ia kemudian lebih memfokuskan diri pada koleksi foto saja. Banyak koleksi kaset rekaman yang ia miliki kemudian diserahkannya kepada sejumlah kawannya. Bukan dipinjamkan, tapi ia berikan begitu saja secara cuma-cuma. Ia berpikir, mungkin orang lain memiliki waktu dan konsentrasi yang lebih dibanding dirinya dalam memelihara kaset-kaset rekaman tersebut.

Ternyata koleksi foto-fotonya saja, yang kemudian dilengkapi dengan kumpulan manaqib para ulama, sangat bermanfaat sekarang ini. Sebuah perkataan yang terdapat dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, karya Syaikh Az-Zarnuji, kiranya dapat dengan tepat menggambarkan apa yang telah dijalani oleh Habib Abdul Qadir. “Sekadar kesusahan yang ditempuh seseorang, maka akan didapat apa yang dicita-citakan.”

Bingkai Besar di Atas Motor
Siapa yang mencari sesuatu secara bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan. Ungkapan ini juga termaktub dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Kesungguh-sungguhan Habib Abdul Qadir, yang juga ternyata seorang kolektor majalah alKisah dari sejak edisi pertama kalinya, telah teruji oleh waktu.

Banyak kisah suka duka yang dialaminya dari sejak ia menjalani aktivitasnya mengoleksi foto para habib. Pernah suatu kali ia mengetahui ada seseorang di daerah Pujon, Batu, Malang, yang memiliki foto Habib Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Menurutnya, pose Habib Muhammad Al-Maliki dalam fotonya itu unik dan menarik. Maka kemudian ia meminjam foto tersebut. Foto itu ada dalam sebuah bingkai besar yang ukurannya hampir seukuran pintu rumah.

Waktu itu ia hendak meminjam fotonya saja, tapi si empunya foto rupanya keberatan, karena khawatir akan rusak. “Kalau mau pinjam, silakan sekalian berikut bingkainya,” katanya.
Saat itu ia pun kebingungan, dengan apa ia akan membawa bingkai sebesar itu. Padahal ia hanya membawa sepeda motor. Akhirnya, ia, yang saat itu berdua dengan seorang kawan, memutuskan untuk tetap membawa foto berbingkai besar tersebut, sekalipun dengan menggunakan sepeda motor.

Di sepanjang perjalanan, ternyata membawanya cukup sulit, dan harus ekstra hati-hati, agar tidak terbentur kendaraan lain. Bebannya juga semakin berat karena tekanan angin yang mendorong bingkai foto tersebut.

Sesampainya di kota Malang, hujan deras turun secara tiba-tiba. Maka ia dan kawannya segera mencari tempat untuk berteduh. Lantaran begitu derasnya hujan, tempat berteduhnya pun terkena air hujan yang tampias. Air itu mengenai bingkai foto dan sempat merusak foto di dalamnya.

Setelah sampai di rumah, ia merepro foto tersebut dan mengganti foto yang rusak itu dengan sedikit proses di sana-sini.

Alhamdulillah, setelah dikembalikan, pemilik foto tersebut tampak senang menerimanya. Mungkin karena hasil foto repro barunya itu terlihat lebih bagus dari aslinya.
Setelah kejadian itu, bukannya kapok, Habib Abdul Qadir malah semakin merasa asyik dalam menjalani aktivitas memburu foto-foto para habib.

Nasib Baik
Suatu hari ia pernah tersasar di suatu desa di daerah Malang. Saat sedang duduk-duduk di depan sebuah rumah, ia sekilas melihat di dalam rumah tersebut terdapat foto habaib yang unik menurutnya. Namun ternyata penghuni rumah itu sedang tidak ada di rumah karena sedang bekerja.

Biasanya, seusai kerja, yaitu sekitar pukul lima sore, penghuni rumah itu sudah sampai di rumah. Ia pun kemudian menunggu selama berjam-jam untuk menanti kedatangan penghuni rumah tersebut. Saat penghuni rumah itu datang, ia menyampaikan maksudnya untuk meminjam foto yang terpampang di dinding ruangan depan rumah milik orang tersebut.
Awalnya si pemilik rumah tampak sedikit curiga. Wajar saja, karena dia merasa tidak mengenalnya sama sekali. Namun setelah diterangkan secara baik-baik, akhirnya ia diperbolehkan meminjam foto itu.

“Silakan bawa, tapi segera kembalikan lagi,” demikian pesan si pemilik foto.

“Bukannya saya berpikir tidak akan mengembalikan, tapi daerah itu sama sekali saya tidak tahu. Jangankan berpikir untuk mengembalikan foto itu, untuk kembali pulang ke rumah saja saya tidak paham,” ujarnya bercerita.

Akan tetapi karena ia memang niat meminjam, ia berjanji akan mengembalikan setelah ia merepronya.

Dengan sedikit bersusah payah akhirnya sampai juga ia di rumah.

Setelah foto itu direpro, ia pun memenuhi janjinya, mengembalikan foto tersebut. Seperti saat ia hendak pulang ke rumah, untuk mencari kembali rumah si pemilik foto itu pun ternyata menempuh waktu yang tidak sebentar. Namun akhirnya ia sampai juga di sana.

Apa yang dialami oleh Habib Abdul Qadir mengingatkan orang pada apa yang dikatakan Imam Syafi’i dalam salah satu diwannya, “Nasib baik dapat mendekatkan setiap perkara yang jauh. Nasib baik dapat membuka setiap pintu yang tertutup.”

Tentunya, nasib baik itu akan menjadi sempurna adanya bila berdasarkan niat yang baik pula, seperti halnya niatan yang ada dalam hati Habib Abdul Qadir dalam memelihara jejak-jejak peninggalan para salaf as-soleh.

Jumat, 04 Maret 2011

Asal-Usul Para Wali, Susuhunan, Sultan, Dsb. Di Indonesia

BAB VI
DAFTAR ANAK-SUKU ALAWIYIN DI INDONESIA


1 Al-Ahmad Hamid Munfar
2 -Ba Abud
3 -Ba Ali
4 -Ba Aqil Al-Saqqaf
5 -Ba Bareyk
6 -Ba Faqih
7 -Ba Faraj
8 -Ba Harun
9 -Ba Hasyim
10 -Bahr
11 -Ba Huseyn
12 -Baiti
13 -Balakhi
14 -Bar
15 -Barakwan
16 -Ba Raqbah
17 -Ba Syiban
18 -Ba Surrah
19 -Ba Umar
20 -Bilfaqih
21 -Bin Abbad
22 -Bin Ahsan
23 -Bin Qutban
24 -Bin Sahl
25 -Bin Syuaib
26 -Bin Thahir
27 -Bin Yahya
28 -Barum
29 -Bu Futim
30 -Bu Numay
31 -Taqawi
32 -Jailani
33 -Jamal Al-Lail
34 -Hamid
35 -Hasni
36 -Khaneyman
37 -Khird
38 -Zahir
39.-Al-Sumeyt
40. -Saqqaf
41. -Sakran
42. -Safi
43. -Masyhur
44. -Maula Al-Dawilah
45. -Maula Khailah
46. -Mudhar
47. -Mudhir
48. -Munawwar Al-Saqqaf
49. -Muqaibil
50. -Musawa
51. -Muthahar
52. -Wahth
53. -Haddar
54. -Hadi
55. -Hinduan
56. -Sri
57. -Syatri
58. -Syihab
59. -Syaikh Abubakar
60. -Aidid
61. -Aqil Bin Salim
62. -Attas
63. -Aydarus
64. -Fad'aq
65. -Fakhr
66. -Qadri
67. -Jufri
68. -Junaid
69. -Habasyi
70. -Haddad
71. -Kaf
72. -Madeyhiy
73. -Maghrabi
74. -Mahdali
75. -Marzaq

Asal-Usul Para Wali, Susuhunan, Sultan, Dsb. Di Indonesia

BAB V
NASAB (SILSILAH)
Semua nasab terputus, kecuali nasabku..... (Al-Hadith).
ADAM adalah ayah Syith, dan Syith ayah Anusy, dan Anusy ayah Qinan, dan Qinan ayah Mahalail, dan Mahalail ayah Yarid, dan Earid ayah IDRIS alias Akhnukh, dan Idris ayah Matusylakh, dan Matusylakh ayah Lamak, dan Lamak ayah NUH.
BANI SAM
NUH adalah ayah SAM, dan Sam ayah Arfakhsyad, dan Arfakhsyad ayak Syalakh, dan Syalakh ayah Abir, dan Abir ayah Falagh, dan Falagh ayah Arghu, dan Arghu ayah Syarukh, dan Syarukh ayah Nakhur, dan Nakhur ayah AZAR alias Terah, dan Azar ayah IBRAHIM.
BANI ISMAIL
IBRAHIM adalah ayah ISMAIL, dan Ismail ayah Qidar, dan Qidar ayah Hamal, dan Hamal ayah Banat, dan Banat ayah Salaman, dan Salaman ayah Humaysa', dan Humaysa' ayah Adad, dan Adad ayah Ad, dan Ad ayah ADNAN, ADNAN adalah ayah Maad, dan Maad ayah Nizar, dan Nizar ayah Mudhar, dan Mudhar ayah Ilyas, dan Ilyas ayah Mudrikah, dan Mudrikah ayah Khuzaimah, dan Khuzaimah ayah Kinanah, dan Kinanah ayah Al-Nadhr, Al-Nadhr ayah Malak, dan Malak ayah Fihr alas QURAISY.
QURAISYIUN
FIHR ayah Ghalib, dan Ghalib ayah Lu'ay, dan Lu'ay ayah Kaab, dan Kaab ayah Murrah, dan Murrah ayah Kilab alias Hakim, dan Kilab ayah Qusay alias Mujami', dan Qusay ayah Abdimanaf, dan Abdimanaf ayah HASYIM.
BANI HASYIM
HASYIM adalah ayah Abdulmuttalib, dan Abdulmuttalib ayah Abdullah dan Abu Talib.
Abdullah adalah ayah NABI MUHAMMAD s.a.w. (wafat di Madinah 11 H.), dan NABI MUHAMMAD s.a.w. ayah FATIMAH Al-Zahra r.a. (wafat di Madinah 11 H.). Abu Talib adalah ayah IMAM ALI k.w. (wafat di Kufah 40 H.). FATIMAH dan ALI (s.a.) adalah ibu dan ayah AL-HASAN dan AL-HUSEYN s.a. (wafat di Kerbela 61 H.).
AL-HUSEYNIYUN
AL-HUSEYN adalah ayah Ali Zeynal-Abidin (wafat di Madinah 94 H), dan Ali Zeynal-Abidin adalah ayah Muhammad Al-Baqir (wafat di Madinah 119 H), dan Muhammad Al-Baqir ayah Ja'far Al-Sadiq (wafat di Madinah 148 H), dan Ja'far Al-Sadiq ayah Ali Al-Uraidhi (wafat di Uraidh 215 H), dan Ali Al-Uraidhi ayah Muhammad Al-Naqib (wafat di Basrah), dan Muhammad Al-Naqib ayah Isa Al-Naqib (wafat di Basrah), dan Isa Al-Naqib ayah Ahmad Al-Muhajir (wafat di Hasisah 345 H), dan Ahmad Al-Muhajir ayah Abdullah alias Ubaidillah (wafat di Ardh 383 H), dan Abdullah ayah Alwi (wafat di Sumul), dan dari Alwi berasal suku-suku ALAWI.


Asal-Usul Para Wali, Susuhunan, Sultan, Dsb. Di Indonesia


BAB IV
Sejarah Singkat Tentang Peranan Alawiyin di Indonesia
 

KEPADAMU KU TITIPKAN AL-QUR’AN DAN KETURUNANKU……….. (Al-Hadith Rasulullah s.a.w. Dirawikan oleh Imam Ahmad Ibn Hambal).
a. PENDAHULUAN
Pada zaman kekhalifahan Bani Abbas (750-1258 M) berkembanglah ilmu pengetahuan tentang Islam yang bercabang-cabang disamping kenyataan itu penghidupan lapisan atas menyimpang dari ajaran agama Islam. Dibentuknya dynasti Bani Abbas yang turun-temurun mewariskan kekhalifahan. Istilah "muslim bila kaif" telah menjadi lazim. Hidupnya keturunan Sayidatina Fatimah Al-Zahra dicurigai, tiada bebas dan senantiasa terancam, ini oleh karena pengaruhnya anak cucu dari Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. atas rakyat sangat besar dan diseganinya. Ke-inginnan kebanyakan orang Muslim adalah seorang keturunan Nabi yang seharusnya memegang kekhalifahan. Banyak yang dipenjarakan dan dibunuhnya oleh karenanya banyak pula yang pindah dan menjauhkan diri dari pusat Bani Abbas di Baghdad.
AHMAD BIN ISA r.a.
Dalam keadaan sebagaimana di-uraikan diatas, yang pasti akan dikutuk Allah s.w.t., dan dengan hendak memelihara keturunannya dari kesesatan, mengulangilah AHMAD BIN ISA BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN JA’FAR BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN AL-HUSEYN r.a. doa-nya sayidina Ibrahim a.s. yang tersurat dalam Al-Qur’an surat 14 ayat 37 dan dipilihnya Hadramaut yang tiada bertetanaman, untuk menetap dan berhijrahlah beliau dari Basrah ke Hadramaut, dimana beliau wafat di Hasisah pada tahun 345 H.
ALWI BIN UBAIDILLAH ALAWIYIN
Keturunan dari AHMAD BIN ISA tadi yang menetap di Hadramaut dinamakan ALAWIYIN; ini dari nama cucunya ALWI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD BIN ISA yang dimakamkan di Sumul.
Keturunan sayidina Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. disebut juga ALAWIYIN dari sayidina Ali bin Abi-Thalib k.w. Keluarga Al-Anqawi, Al-Musa-Alkazimi, Al-Qadiri dan Al-Qudsi yang terdapat sedikit di Indonesia adalah Alawiyin, tapi bukan dari Alwi bin Ubaidillah.
MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM
Luput dari serbuan Hulaku, saudara maharaja Cina, yang mentamatkan kekhalifahan Bani Abbas (1257 M.), yang memang telah dikhawatirkan oleh AHMAD BIN ISA akan kutukan Allah s.w.t., maka di Hadramaut Alawiyin menghadapi kenyataan berlakunya undang-undang kesukuan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan kenyataan bahwa penduduk Hadramaut adalah Abadhiyun yang sangat membenci sayidina Ali bin Abi-Thalib r.a. Ini ternyata pula hingga kini dari istilah-istilah dalam loghat orang Hadramaut. Dalam menjalankan ‘tugas suci’, ialah pusaka yang diwariskannya, banyak dari pada suku Alawiyin tiada segan mendiam di lembah yang tandus. Tugas suci ini terdiri dari mengadakan tabligh-tabligh, perpustakaan-perpustakaan, pesantren-pesantren (rubat) dan masjid-masjid. Alawiyin yang semula bermazhab "Ahlil-Bait" mulai memperoleh sukses dalam menghadapi Abadhiyun itu setelah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam BIN ALI BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN ALWI BIN MUHAMMAD BIN ALWI BIN UBAIDILLAH melaksanakan suatu kompromis dengan memilih mazhab Muhammad bin Idris Al-Syafi’I Al-Quraisyi, ialah yang kemudian disebut dengan mazhab Syafi’i. Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam ini wafat di Tarim pad atahun 653 H.
TUGAS SUCI (ISLAMISASI)
Alawiyin dalam menyebarkan agama Islam menyebrang ke Afrika Timur, India, Malaysia, Thailand (Siam), Indonesia, Tiongkok (Cina), Filipina, dsb.
b. ALAWIYIN DI INDONESIA SEBELUM DIJAJAH BELANDA
Sebelumnya orang Barat datang, maka berkembanglah agama Islam dengan baik sekali dan terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Runtuhnya kerajaan Islam di semenanjung Iberia dalam abad ke XV M. dengan jatuhnya Al-Andalus (1492 M.), mengakibatkan pengejaran bangsa Spanyol terhadap Muslimin, pengejaran mana diberkati Paus Roma. Jika kehendak orang Spanyol menyeranikan, maka kehendak orang Portugis ialah berniaga dengan orang Muslim di Indonesia, dan oleh karena ini orang Portugis lebih memperoleh sukses. Sebab peperangan di Europa antara Spanyol sepihak dengan masing-masing Belanda dan Inggeris, maka kedua bangsa ini turut juga datang ke Indonesia. Kecerobohan dan keserakahan Barat senantiasa ditentang oleh kaum Muslimin di tanah air kita.
c. ALAWIYIN DI INDONESIA DI MASA JAJAHAN BELANDA
Dengan pelbagai tipu muslihat dan fitnah akhirnya Belanda disokong oleh negara¬negara Barat lain, dapat menguasai Indonesia, dan ekonomi Belanda mulai berkembang pesat sesudahnya dapat dipergunakan kapal uap. Alawiyin dari pada awalnya jajahan Belanda mulai merasakan rupa-rupa kesulitan, oleh karena Belanda melihat bahwa Alawiyin-lah dalam segala lapangan menjadi pelopornya, baik di medan perang, maupun dalam bidang pengangkutan barang-barang lewat lautan atau bidang kebudayaan (agama). Dilarangnya Alawiyin menetap di pedalaman pulau Jawa, dilarangnya berkeluarga dengan anggauta istana (yang memang keturunan Alawiyin), hingga yang tiada mampu pindah ke perkampungan tertentu di bandar-bandar di tepi laut, atau karena sebab lain, mengambil nama keluarga Jawa agar di-anggapnya orang Jawa asli, pribumi. Oleh karena pindahnya Alawiyin dari pedalaman ke bandar-bandar di pinggir laut, maka pula pusat ke-Islaman pindah ke utara seperti Semarang, Surabaya, Jakarta, dst. Yang tidak dapat berpindah dari pedalaman, menetap di perkampungan-perkampingan yang disebut "kaum". Suku-suku Alawiyin yang telah anak-beranak dan tiada mampu pindah ke kota-kota besar dan mengambil nama ningrat Jawa, ialah banyak dari pada Al-Basyiban, Al-Baabud, Al-Binyahya, Al-Aydrus, Al-Fad’aq dan lain-lain lagi. Dalam kenyataan demikian itu, Belanda baru mulai berusaha menyeranikan Jawa Tengah, dimana Islam tiada dapat berkembang oleh karena peperangan-peperangan melawan Belanda dan berhasilnya aneka fitnah yang Belanda ciptakan antara penguasa-penguasa pribumi sendiri. Anak Muslim tiada boleh bersekolah, sedangkan anak Keristen dapat pendidikan dan pelajaran modern. Kemudian di-izinkan bersekolah Belanda anak-anak orang yang berpangkat pada pemerintahan jajahan, dan diharuskan mereka tinggal (yakni in de kost) pada pejabat Belanda. Katanya agar dapat lancar berbicara bahasa Belanda dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberi dalam bahasa itu; sebetulnya untuk menjadikan kanak-kanak itu berfikir dan hidup secara orang Belanda, dan untuk mengasingkan mereka dari bangsanya sendiri, dari adat-istiadat dan agamanya. Anak rakyat biasa, awam, mengaji, baik pada madrasah-madrasah Alawiyin atau pesantren¬pesantren. Hubungan Alawiyin dengan para kiyahi erat sekali. Untuk melumpuhkan berkembangnya agama Islam di-antara anak-anak rakyat jelata, Belanda mengadakan sekolah-sekolah Hollands-Inlandse School (H.I.S.) dengan syarat bahwa murid tiada boleh bersarong dan berkopya-pici, harus mengenakan celana pendek sampai atas lutut, pakaian mana bukan kebiasaan orang yang mendirikan salat. Jangan sampai kanak-kanak dapat membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab agama Islam yang tertulis dengan huruf Arab, Belanda mengajar dengan sungguh menulis dengan huruf latin, dan mengadakan buku¬buku yang menarik dalam huruf ini, untuk maksud mana dibentuknya Balai Perpustakaan. Banyak buku-buku yang dikarang oleh pendeta dan padri, indolog dan orientalis, mengandung racun bagi anak murid yang pengetahuannya tentang Islam dan tarikhnya masih sangat dangkal. Alawiyin menolak tawaran Belanda untuk membangun Hollands-Arabise School (H.A.S.), dan menolak pula subsidi dari pemerintah jajahan bagi madrasah-madrasahnya, karena curiga dan takut dari tipu muslihat dan pengaruh Belanda yang berniat merusak agama Islam. Alawiyin tiada boleh mendirikan cabang¬cabang madrasah di kota-kota besar dengan nama yang sama, oleh karena itu nama-nama madrasah yang sama skala pendidikannya, berlainan namanya. Para guru dari negara Islam didatangkan untuk mengajar di madrasah-madrasah, dan kanak-kanak yang berbakat dikirim melanjutkan pelajarannya ke Hadramaut, Hejaz, Istanbul, Kairo dan lain-lain.
Disamping perguruan, Alawiyin aktif juga di lapangan politik hingga beberapa orang ditangkap dan dipenjarakan. Melawan Belanda antara mana di Aceh, dan sesudah Aceh ditaklukannya, Muslimin hendak mengadakan pembrontakan di Singapura di kalangan tentara Muslimin India yang Inggeris hendak berangkatkan untuk berperang di Iraq (Perang Dunia I). Perlu juga diketahui bahwa Alawiyin senantiasa berhubungan dengan Muslimin di luar negri, orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh, teristimewa dengan Padisyah, Khalifatul Muslimin di Istanbul, yang atas aduan Alawiyin pernah mengirim utusan rahasia untuk menyelidiki keadaan-keadaan Muslimin di Indonesia.
d. ALAWIYIN DI INDONESIA DI MASA PENDUDUKAN MILITER JEPANG
Pendudukan militer Jepang menindas dan mematikan segala kegiatan Alawiyin, terutama dalam bidang politik, perguruan tabligh, pemeliharaan orang miskin dan anak yatim. Perpustakaan yang tidak dapat dinilai harganya di-angkut Jepang, entah kemana. Semua kitab ada capnya dari Al-Rabitah Al-Alawiyah yang berpengurus-besar hingga kini di Jalan Mas Mansyur (dahulu Jalan Karet) No. 17. Jakarta Pusat (II/24).
e. ALAWIYIN DI INDONESIA SETELAH MERDEKA
Pemudan Alawiyin turut giat melawan Inggeris dan Belanda (Nica), bergerilya di pegunungan. SEMUA PEMUDA ALAWIYIN ADALAH WARGANEGARA INDONESIA dan masuk berbagai partai Islam. Dalam lapangan ekonomi mereka sangat lemah hingga kini belum dapat merebut kembali kedudukannya seperti sebelumnya pecah perang dunia ke-dua, dengan lain kata, jika Alawiyin sebelumnya Perang Dunia ke II dapat membentuk badan-badan sosial seperti gedung-gedung madrasah, rumah yatim piatu, masjid-masjid dan membayar guru-guru yang cakap, maka sekarang ini dengan susah payah mereka membiayai pemeliharaannya dan tidak dapat lagi memberi tenaga guru-guru sepandai dan secakap yang dahulu, meskipun kesempatan kini adalah lebih baik dan pertolongan pemerintah ala qadarnya. Kegiatan bertabligh tetap berada di tangan para kiyahi dan Alawiyin yang tersebar di pelosok-pelosok kepulauan Indonesia. Alawiyin yang lebih dikenal dengan sebutan sayid, habib, ayib dan sebagainya tetap dicintai dimana-mana dan memegang peranan rohani yang tidak dapat dibuat-buat sebagaimana juga di negara Islam lain. Kebiasaan dan tradisi Alawiyin di-ikuti dalam perayaan maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian dan sebagainya. Suku-suku Alawiyin di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 50.000 orang; ada banyak yang besar, antara mana Al-Saggaf, Al-Attas, Al-Syihab, Al-Habasyi, Al-Aydrus, Al-Kaf, Al-Jufri, Al-Haddad. Dan semua keturunan asal-usul ini dicatat dan dipelihara pada Al-Maktab Al-Daimi yaitu kantor tetap untuk statistik dan pemeliharaan nasab sadatul¬alawiyin yang berpusat di gedung "Darul Aitam", Jalan K.H. Mas Mansyur (dahulu Jalan Karet) No. 47, Jakarta Pusat (II/24).

Asal-Usul Para Wali, Susuhunan, Sultan, Dsb. Di Indonesia

BAB III
Silsilah Para Pemimpin Islam (Wali-Wali), Golongan Pertama yang Menyiarkan Agama Islam di Indonesia


1) JAMALUDDIN ALHUSAIN gelar WAJUK MAKASAR, bin Imam Ahmad Syah bin Amir Abdullah Khan bin Abdul-malik bin Alwi bin Muhammad Sahib Marbat bin Ali Khaliq Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Aluraidhi bin Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Bakir bin Ali Zainulabidin bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
2) RADEN RAHMAT gelar SUNAN AMPEL-SURABAYA bin Maulana Ibrahim Asmoro gelar SUNAN NGGESIK-TUBAN bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
3) MUHAMMAD AINUL YAQIN gelar SUNAN GIRI GRESIK bin Maulana Ishak Makhdum dari Pasei Malaka, bin Ibrahim Asmoro gelar SUNAN NGGESIK¬TUBAN bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
4) HIDAYATULLAH gelar SUNAN GUNUNGJATI-CIREBON bin Sunan Abdullah dari Kamboja (Campa) bin Ali Nurul Alam dari Siam bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
5) SYEIKH IBRAHIM gelar SUNAN BONANG di Tuban, bin Raden Rahmat gelar SUNAN AMPEL-SURABAYA bin Maulana Ibrahim Asmoro gelar SUNAN NGGESIK-TUBAN bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
6) MAULANA MALIK IBRAHIM di Gapura-Gresik bin Barakat Zainul Alam bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
7) BABULLOH gelar SUNAN TERNATE bin Abdullah dari Kamboja (Campa) bin Ali Nurul Alam dari Siam bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
8) ALI MURTADHO gelar RADEN SANTRI (BEDILAN GRESIK) bin Ibrahim Asmoro gelar Sunan Nggesik (Tuban) bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
9) AHMAD HISAM (dekat Lamongan) bin Raden Rahmat gelar Sunan Ampel (Surabaya) bin Ibrahim Asmoro gelar Sunan Nggesik (Tuban) bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
10) JA’FARUSSADIQ gelar SUNAN KUDUS bin Raden Rahmat bin Ibrahim Asmoro bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
11) HASYIM gelar SUNAN DRAJAT LAMONGAN bin Raden Rahmat bin Ibrahim Asmoro bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
* Siaran "Pengurus Makam Maulana Malik Ibrahim", 1956
12) ZAINAL-ABIDIN (Demak) bin Ahmad Hisam bin Raden Rahmat bin Ibrahim Asmoro bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.
13) HASANUDDIN (Banten) bin Hidajatulloh gelar Sunan Gunungjati-Cirebon, bin Abdullah (Kamboja) bin Ali Nurul Alam (Siam) bin JAMALUDDIN ALHUSAIN, dst. lihat di atas.