Allah

Selasa, 13 April 2010

Syiah dan Sunni

Sudah sejak lama permasalahan Sunni (sunnah) versus Syiah menjadi ajang debat dan bahkan akhir-akhir ini sudah ada kelompok-kelompok yang mengkafirkan salah satu pihak. Masing-masing punya pendirian dan merasa benar, saling mengemukakan latar belakang sejarah disertai dalil-dalil hadisnya.
Secara umum, ISU perbedaan antara sunni dan syiah yang sering kita dengar yaitu terletak pada masalah aqidah. Syiah & pengikutnya, menurut banyak kalangan, lebih memuliakan khalifah Ali bin Abi Thalib. Sedangkan sunni merupakan pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW sehingga lebih memuliakan beliau.
Perbedaan  tersebut sudah lama sekali diisukan dan menyebar ke seantero dunia, tanpa melihat atau mengetahui pihak mana yang sebenarnya (mengadu-domba) dengan membesar-besarkan perbedaan antar kedua kubu tersebut.
Dasar/asal mula perbedaan utamanya adalah siapa yang lebih pantas menjadi panutan/pimpinan sepeninggal Nabi agama tersebut. Berikut adalah kutipan dari Wikipedia Indonesia :

Muslim Syi’ah percaya bahwa  Keluarga Muhammad SAW SAW (yaitu para Imam Syi’ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur’an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW SAW, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi’ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi’ah percaya bhw Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi’ah dan Sunni dalam penafsiran Al Qur’an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi’ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah ra tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi’ah mengakui otoritas Imam Syi’ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama.

Anda Sunni atau Syi’ah ?
Anda Muslim? Bila jawaban anda adalah ‘Ya!’ dan anda berada di Indonesia, orang yang bertanya kepada anda mungkin tak akan memberikan pertanyaan susulan yang berhubungan. Namun bila anda diberi pertanyaan macam ini di Libanon atau Suriah dan jawaban anda sama [‘Ya!’], sebuah pertanyaan susulan mungkin akan mengemuka: ‘Anda Sunni atau Syi’ah?’
Ketika kita berbicara tentang Sunni dan Syi’ah, rasanya pembiacaraan ini bagai mengupas sebuah kubis: semakin dalam anda kupas, maka anda tak kunjung menemukan ujungnya, bahkan hingga kubis yang anda kupas habis hingga lembaran terakhir. Perdebatan antara Sunni dan Syi’ah telah berlangsung sejak Abad ke-8 dan tak pernah menemukan ujungnya hingga Abad ke-21 sekarang ini.
Randy Pausch pernah berkata bahwa dalam hidup ini, 10 persen adalah hitam, 10 persen lainnya putih, dan 80% adalah abu-abu. Bila kita mencoba menarik garis pemisah antara Sunni dan Syi’ah, maka sebenarnya warna dominan abu-abu yang 80% itu memang melekat kepada keduanya. Nyaris tak ada perbedaan dalam garis besar akidah maupun ibadah. Lantas mengapa Umat Islam terpecah ke dalam dua golongan?
Walau saat ini kita tahu bahwa perbedaan yang sedikit antara Sunni dan Syiah adalah fundamental –yakni menyangkut akidah dan ideologi, namun akar masalahnya sendiri ternyata hanya sekedar masalah politik yang sepele. Ketika arus politik Islam pada Abad ke-7 mengalir ke dua cabang, umat dipaksa untuk memilih: BERPIHAK KEPADA ALI BIN ABU THALIB ATAU KEPADA MU’AWIYAH BIN ABU SUFYAN.
Ali bin Abu Thalib jelas tak bersalah bila sebagian umat pendukungnya kemudian tiba-tiba saja mengembangkan teologi sendiri yang melahirkan aliran Syi’ah.  Sebuah pelajaran berharga dapat dipetik. Pelajaran itu berada pada kisaran bagaimana politik dan sikap politik dapat memecah kesatuan umat dan berujung pada rusaknya akidah sebagian umat.
Fenomena pertentangan politik yang berujung pada kerusakan akidah pun bisa terjadi pada masa-masa pasca lahirnya Syi’ah. Gerakan Ahmadiyyah di Qadian tak akan lahir tanpa adanya pertentangan antar Umat Islam Hindustan yang berjuang melepaskan diri dari penjajahan Inggris dengan saudara-saudaranya yang memihak Inggris. Seperti telah kita ketahui, orang-orang Ahmadiyyah adalah para komprador Inggris di tanah Hindustan.
Maraknya kemunculan nabi-nabi palsu di zaman sekarang pun tak lepas dari faktor politik. Misalnya di Indonesia: Sistem politik yang dianut Indonesia mengarahkan masyarakat untuk menjadi kapitalis. Dalam tatanan masyarakat kapitalis, sebagian orang akan menjadi sangat kaya (golongan konglomerat) dan sebagaian lainnya akan ‘dipaksa’ untuk miskin. Kemiskinan di tengah ketiadaan harapan akan masa depan yang jelas menjadikan manusia mencari solusi-solusi instan yangdapatmelepaskan diri mereka dari jeratan kemiskinan. Sekularisme yang menjauhkan masyarakat dari Agama menjadi paket adisional bagi kapitalisme, sehingga spiritualisme masyarakat pun jatuh ke titik terrendah. Kondisi inilah yang menjadi sebab utama mengapa nabi-nabi palsu selalu memiliki pengikut –walau dalam jumlah sedikit.
Andai Allah memiliki jari, pasti saat ini telunjuknya tengah mengarah ke dada para politisi. Para politisi, penguasa, pengambil kebijakan, dan juga para pengikut garis politik tertentu harus berhati-hati. Silang pendapat dan sengketa antar mereka dapat melahirkan implikasi besar yang akibatnya mungkin tak akan hilang dalam hitungan hariatau pekan, namun hingga berabad-abad setelahnya, seperti dalam kasus Sunni Vs. Syi’ah. Dalam kasus Sunni Vs. Syi’ah, kita pun dapat belajar bahwa kedahsyatan pertentangan politik tak hanya akan memberikan dampak kepada kehidupan sosial, namun juga spiritual.

Isu Pertentangan Sunni versus Syiah di Irak
IRIB Bahasa Indonesia => Pasca eksekusi Saddam Husein, media-media Barat dan juga sejumlah media Arab yang ‘terkait’ dengan Barat sangat gencar memunculkan isu pertentangan Sunni-Syiah di Irak. Saddam, mantan diktator Irak yang pernah membantai ratusan ribu warga Sunni Halabja, Kurdi, dalam operasi Al-Anfal tahun 1988, tiba-tiba diposisikan sebagai pahlawan Sunni, hanya gara-gara ia divonis hukuman mati akibat kejahatannya membantai 148 warga Syiah di Desa Ad-Dujail; atau karena pemerintahan di Irak saat ini di bawah kendali kelompok Syiah.
Sedemikian gencarnya propaganda media Barat itu sampai-sampai banyak kalangan muslim di Indonesia ikut-ikutan termakan isu tersebut. Kolom opini Republika menurunkan tulisan yang menyatakan bahwa banyak informasi yang diungkap dalam banyak media Arab dan tokoh-tokoh Sunni Irak serta fakta yang diangkat konsorsium organisasi Irak yang menyebutkan, tidak kurang dari 1.140 kasus penculikan wanita Sunni terjadi dalam setahun. Sekitar 150 orang dibebaskan, 200 wanita belum diketahui nasib mereka, dan ratusan lainnya ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.
Dituliskan juga bahwa studi ini bahkan menyimpulkan, 85 persen operasi pembantaian terhadap Sunni di Irak dewasa ini terindikasi adanya peran Teheran dalam menyokong milisi yang berkoalisi dengan pasukan Amerika. Mereka menghabisi para kelompok Sunni yang berada di garda terdepan melakukan perlawanan terhadap penjajahan Irak. Dalam catatan studi tersebut tidak kurang dari 1.500 personel dari pasukan pengawal revolusi Iran bergabung dalam milisi Badar, milisi Muqtada Sadr, yakni pasukan keamanan bentukan Kementerian Dalam Negeri dan aparat intelijen Irak.
Sulit bagi kita untuk tidak prihatin dengan tulisan-tulisan semacam ini. Data-data yang dibuat, bukan hanya mengabaikan prinsip konfirmatif, yaitu berupaya mencari informasi dari pihak lain, melainkan malah menutup-nutupi fakta lain yang justru menunjukkan bahwa jumlah warga Syiah yang tewas dan menjadi korban akibat berbagai aksi teror di Irak sejak aksi pendudukan AS ini juga sangat besar. Akan tetapi, kelompok Syiah yang berkuasa di Irak, maupun pemerintah Iran, TIDAK PERNAH MENUDING ORANG-ORANG SUNNI SEBAGAI PELAKUNYA. Menurut Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah Al-Uzhma Sayid Ali Khamenei, dalam pidatonya di depan para ulama Sunni dan Syiah, pelaku aksi teror di Irak, bukanlah Sunni atau Syiah, melainkan mereka yang merupakan kaki tangan kaum IMPERIALIS YANG INGIN MEMECAH-BELAH PERSATUAN UMMAT ISLAM.
Saudaraku, Ingatlah bahwasanya Allah SWT melarang ummat Islam bercerai-berai:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu,.. “(QS. Ali Imron : 103)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar